Langsung ke konten utama

Mendaras Mukadimah Nadom Sunda Syahadatain

Dokpri cover buku Nadom Sunda Syahadatain 

Nadom Syahadatain adalah salah satu materi yang sempat diajarkan ajengan kepada saya tatkala duduk bangku di madrasah. Madrasah Diniyah Ta'limiyah Awaliyah (MDTA) Al Ikhlas adalah nama yang kerap digemakan para santri untuk tempat tholabul 'ilmi itu. Mula-mula Nadom itu didiktekan ajengan sedangkan para santri menulisnya di buku tulis masing-masing. 

Selain menggembol beberapa kitab kuning dan Al-Qur'an, memang para santri dianjurkan untuk membawa buku catatan. Sang ajengan dengan sabar senantiasa memberikan pengertian dengan menganalogikan ilmu sebagai hewan buruan. Ibarat hewan buruan, ilmu pengetahuan itu perlu diikat dengan kuat melalui tulisan. Sebab, ilmu itu bersifat nisbi bagi orang yang lalim atas kuasa akal pikiran. 

Maksudnya apa? Bagi orang yang tidak mampu berkonsentrasi dan tidak memiliki maharah istima' ilmu yang disampaikan ajengan hanya masuk sesaat. Masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Artinya, bagi santri yang tidak khusyuk dalam mengikuti pembelajaran ilmu itu tidak akan merasuk ke dalam dada dan pikirannya. Tidak ada pemahaman yang final sehingga menjadi pencerahan atas ilmu yang dikaji.

Sementara itu, seperti halnya yang telah kita ketahui bersama bahwa tradisi ngaji di lembaga pendidikan Islam yang bercorak salaf, senantiasa melanggengkan tradisi verbal. Sang ajengan mengkaji satu pembahasan lantas mendedahnya dengan deskripsi yang lugas. Tidak sedikit persoalan yang dikaji itu dibenturkan dengan problematika kehidupan sehari-hari yang up to date

Dalam konteks inilah mencatat penjelasan sang ajengan menjadi sesuatu hal yang urgen. Penjelasan tematik, peta konsep pemecahan masalah ataupun rumus baku kaifiyah penting untuk dicatat. Catatan pribadi ini tentu akan sangat bermanfaat manakala disesuaikan dengan momentum yang tetap. 

Selain bermanfaat sebagai barometer dan kompas dalam menghadapi arus kehidupan yang terus menunjukkan tajinya, tradisi mencatat ini pada kenyataannya juga mengkonstruk tradisi literasi di lingkungan pendidikan agama. Para santri dituntut untuk dekat dengan sumber dan tools ilmu sekaligus ditekan untuk mampu menjawab setiap tantangan yang ada. Termasuk di dalamnya menjadi solutif atas berbagai persoalan yang tampak ke muka. 

Sependek ingatan saya, tatkala mendiktekan sang ajengan senantiasa membuka buku catatan pribadi saat mondok dahulu. Beliau sangat tertib dalam mendokumentasikan rekam jejak materi saat mondok. Semua materi itu beliau abadikan dengan ditulis tangan. Maka tak ayal jika kemudian tulisan seorang santri senantiasa berseni tinggi. Tidak berkonotasi sarkastik dengan menyebutkan laiknya sandi rumput. Jauh dari kata itu.

Lembaran buku beliau buka satu persatu tatkala mendiktekan Nadom. Dengan pembawaan retorika yang khas setiap bait beliau artikulasikan membentuk nada yang enak didengar. Sehingga para santri dengan cepat mencatatnya dengan baik dan benar. Kala itu, hanya telinga nakal saja yang meminta untuk berulangkali mengulanginya. 

Dalam pemahaman awam saya dahulu, Nadom Syahadatain itu hanya sekadar nadom. Tak berbeda jauh dengan puji-pujian yang dikumandangkan untuk mengisi waktu jeda di antara adzan dan Iqamah untuk mendirikan salat fardhu . Akan tetapi asumsi itu terbantahkan, manakala saya membaca langsung buku Nadom Syahadatain tersebut beberapa hari terakhir. 

Buku Nadom Sunda Syahadatain Sareng Kalimah Thoyyibah yang disusun oleh KH. Choer Affandi Pondok Pesantren Miftahul Huda Manonjaya Tasikmalaya itu pada kenyataannya membedah dinding keawaman dalam memahami Syahadatain. Secara bahasa syahadatain bermakna dua kesaksian. 

Sedangkan secara istilah Syahadatain berarti ikrar yang menegaskan kesaksian, penerimaan dan pengakuan atas keimanan terhadap Allah SWT sebagai Tuhan dan Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul. Dalam implementasinya tentu tidak sebatas ikrar yang terucapkan sekali tuntas. Cukup di mulut saja. Tidak, sungguh tidak demikian. Sebab dalam pembahasan selanjutnya akan ada pertanggungjawaban ma'rifat dan tasdeq.

Dalam pangjajap (baca pengantar atau pendahuluan) disebutkan terdapat 5 alasan kenapa pengarang menyusun buku Nadom Syahadatain tersebut. Kelima alasan tersebut ialah:

Kahiji, ieu nadoman kenging nukil Tina sarpati kita 'Aqo'id bahasa Arab anu bersumber tina Al-Qur'an sareng Al-Hadits. (Pertama, nadoman ini adalah bentuk ringkasan dari kitab 'Aqo'id berbahasa Arab yang bersumber dari Al-Qur'an dan Hadits).

Kadua, dihaja didanding kunadoman malar babari ngapalkeunnana. (Kedua, dengan sengaja dibuat tembang dalam bentuk nadoman untuk mempermudah dihafalkan).

Katilu, disusun kana bahasa Sunda malar manfaat pikeun awam di talar Pasundan. (Ketiga, disusun kedalam bahasa Sunda supaya bermanfaat bagi khalayak masyarakat Sunda secara umum).

Kaopat, dina bahasa Sunda tangtos aya bahasa-bahasa anu diperdalam kurang keuna, sabab nu dipalar beres raosna nadoman, namung teu robih tina tujuan. (Keempat, penerjemahan ke dalam bahasa Sunda tentu ada beberapa penjelasan kurang tetap, sebab yang diperhatikan adalah tertib indahnya nadoman, akan tetapi tidak mengubah tujuan yang hendak disampaikan).

Kalima, kacida saena umpami dianggo dasar pangajaran di Madrasah Diniyah. ( Kelima, sangat bagus digunakan sebagai dasar pembelajaran di Madrasah Diniyah).

Kelima alasan penyusunan buku Nadom Sunda Syahadatain yang tertuang dalam pangjajap tersebut setidaknya kita tahu bahwa buku itu hadir dalam rangka memberi penerangan yang gamblang tentang core of the core dari Syahadatain. Ikrar yang kita panjatkan sekurang-kurangnya 9 kali dalam sehari-semalam. 

Kehadiran buku tersebut seakan-akan mempertanyakan kembali ke dalam diri kita masing-masing. Sebagai seorang muslim, apakah kita telah benar-benar memahami, mengimani dan mengamalkan intisari (tujuan) dari Syahadatain? Atau mungkin yang selama ini kita lakukan hanya sekadar ritus seremonial belaka. Karena memang kita berislam berdasarkan nasabiyah ibu dan bapak. 

Kutasari, 30 Desember 2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Serba yang Kedua

(Dokpri: flyer ngaji literasi edisi 4) Hemat saya angka 2 menjadi angka istimewa dalam ngaji literasi edisi keempat yang akan datang ini. Tepatnya, 3 kali angka 2 yang istimewa. Kenapa harus angka 2? Bukankah masih banyak angka lain: 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya? Nah, jadi bikin penasaran kan? Pertama, angka 2 yang menegaskan bahwa di momen ngaji literasi edisi ini adalah kali kedua saya menjadi moderator setelah sebelumnya saya beserta Bang Almahry Reprepans bertukar posisi. Tentu saja, dua kali menjadi moderator dalam rangka membedah buku solo kawan-kawan anggota SPK Tulungagung, bagi saya, adalah satu kehormatan dan kesempatan yang luar biasa. Saya dapat belajar bagaimana cara berbicara di depan kamera dan public speaking. Selain itu, pada ngaji literasi edisi keempat ini menandaskan dua kali sudah saya menjadi moderator dalam membedah buku solo perdana sahabat Ekka Zahra Puspita Dewi setelah sebelumnya dipertemukan dalam acara bedah yang diusung oleh komunitas Lentera. ...