Langsung ke konten utama

Adab Musyafahah Kepada Guru

(Dokumentasi pribadi: Ustadzah Elly sedang menyampaikan amanat upacara bendera)

"Al Adaabu Fauqol ilmu, adab di atas ilmu".

Mahfudot Arab tersebut menegaskan bahwa posisi adab lebih utama dari ilmu. Orang yang berilmu namun tidak memiliki adab maka tindak tanduknya akan sia-sia belaka. Yang tercermin dari orang tak beradab tidak lain hanya kepongahan, sombong dan melampaui batasan kehendak diri sebagai seorang hamba. 

Orang yang berilmu tanpa adab berarti menjalani kehidupan dengan sengaja mengingkari dan menafikan fakta hakikat manusia sebagai makhluk sosial. Manusia sebagai makhluk sosial sudah barang tentu membutuhkan interaksi sosial dalam mencukupi kebutuhan hidupnya. Sehingga dalam prakteknya manusia akan melakukan proses interaksi sosial baik secara verbal, visual, ataupun tindakan. 

Elemen penting dalam interaksi sosial adalah adab. Tanpa adanya adab, proses interaksi sosial di antara sesama manusia itu akan kacau balau. Bahkan tanpa adanya adab, interaksi sosial bisa jadi tidak akan pernah terbangun. Orang yang berilmu tanpa adab, sama halnya menghinakan, menihilkan dan membumihanguskan ilmu sekaligus martabat orang yang bersangkutan.

Salah satu adab yang harus diperhatikan dalam interaksi sosial selaku umat Islam adalah musafahah (bersalaman, berjabat tangan) tatkala bertemu. Baik itu musafahah dengan sesama teman, orangtua ataupun guru kita semua. Bersalaman dengan ketiga unsur tersebut tentu memiliki adab tersendiri. Sangatlah keliru jika kemudian kita menyamakan cara musafahah antara guru atau orangtua dengan sesama teman. 

Kekeliruan dalam bermusyafahah inilah yang selama ini banyak dipraktekkan. Baik itu dalam tradisi personal ataupun budaya yang telah mendarah daging dalam lingkup kelembagaan. Kasus yang sama juga ditemukan di lingkungan yayasan pendidikan Islam Baitul Qur'an Tulungagung. Tak sedikit dari para santri yang membudayakan musyafahah secara keliru. 

Menyikapi budaya yang demikian Ustadzah Elly (sapaan akrab) dalam upacara bendera hari Senin (30/01/2023) menyampaikan amanat dengan tajuk Meluruskan Adab Musyafahah yang Keliru. Bdaya musyafahah yang telah mengakar di lingkungan sekolah sudah sangatlah baik, akan tetapi dalam prakteknya masih dapat dikatakan belum benar. Utamanya tatkala para santri bermusyafahah kepada dewan asatidz.

Musyafahah (salaman, berjabat tangan) yang benar dengan seorang guru hendaknya disesuaikan dengan hukum kemahramahannya. Jika seorang santri bermusyafahah kepada seorang guru laki-laki (ustadz) maka sebaiknya ia melakukan adab sebagai berikut:

1. Menghampiri ke hadapan guru yang bersangkutan. Jarak di antara keduanya kurang lebih 30 cm.

2. Menyodorkan kedua tangan terlebih dahulu.

3. Mengucapkan salam

4. Menundukan kepala disertai membungkukkan punggung 

5. Hidung didekatkan dengan tangan ustadz. Bukan ditempelkan di jidat, di pipi, di rambut ataupun dagu. Posisi itu seperti halnya sedang menghirup keberkahan dari sang guru.

Adapun jika santri bermusyafahah dengan guru yang bukan mahram maka sebaiknya santri mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:  

1. Mendekati guru yang bersangkutan 

2. Menundukkan kepala disertai membungkukkan badan 

3. Kedua tangan santri direkatkan di dada

4. Mengucapkan salam. Jangan sampai kita bermusyafahah kepada guru yang bukan mahram dari jarak yang sanga jauh. 

Mengucapkan salam kepada sesama manusia--utamanya muslim--pada dasarnya adalah saling mendoakan. Mendoakan orang yang disalami semoga senantiasa mendapatkan limpahan Rahmat, lindungan dan keselamatan dari Allah SWT. Maka tak ayal jika kemudian seseorang yang disalami dan menerima ucapan salam hukumnya wajib menjawab. Bahkan mendoakan kembali. 

Bukankah saling mendoakan dengan maksud menghendaki kebaikan untuk sesama adalah tindakan yang terpuji? 

Tulungagung, 30 Januari 2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Serba yang Kedua

(Dokpri: flyer ngaji literasi edisi 4) Hemat saya angka 2 menjadi angka istimewa dalam ngaji literasi edisi keempat yang akan datang ini. Tepatnya, 3 kali angka 2 yang istimewa. Kenapa harus angka 2? Bukankah masih banyak angka lain: 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya? Nah, jadi bikin penasaran kan? Pertama, angka 2 yang menegaskan bahwa di momen ngaji literasi edisi ini adalah kali kedua saya menjadi moderator setelah sebelumnya saya beserta Bang Almahry Reprepans bertukar posisi. Tentu saja, dua kali menjadi moderator dalam rangka membedah buku solo kawan-kawan anggota SPK Tulungagung, bagi saya, adalah satu kehormatan dan kesempatan yang luar biasa. Saya dapat belajar bagaimana cara berbicara di depan kamera dan public speaking. Selain itu, pada ngaji literasi edisi keempat ini menandaskan dua kali sudah saya menjadi moderator dalam membedah buku solo perdana sahabat Ekka Zahra Puspita Dewi setelah sebelumnya dipertemukan dalam acara bedah yang diusung oleh komunitas Lentera. ...