Langsung ke konten utama

Hari Minggu Waktu Meng-upgrade Diri

Jika umumnya sebagian besar orang menjadikan hari Minggu sebagai hari libur nasional, maka bagi saya pribadi justru hari itu adalah waktu yang tepat untuk meng-upgrade potensi diri. Hal ini terjadi semenjak saya bergabung menjadi salah satu asatidz sukarelawan yang mengabdikan diri di TPQLB Spirit Dakwah Indonesia. Lebih tepatnya, apabila kilas balik ke belakang, hal ini dimulai sejak bulan Februari 2019. 

Menyediakan waktu khusus di kala khalayak ramai berbondong-bondong liburan memang susah-susah gampang. Dipandang susah karena memang kebiasaan yang berlaku di masyarakat kita adalah menghabiskan hari weekend spesial untuk family time. Entah itu diisi dengan bercengkrama hangat, bertamasya ke tempat wisata, berkunjung ke kediaman saudara atau memang dialokasikan khusus untuk waktu rebahan. Seharian penuh dihabiskan untuk merefresh diri dari segunung kesibukan kerja yang terus merundung. 

Konstruksi sosial yang melekat kuat terhadap hari Minggu itu pula yang kemudian kerap menjadi alasan ketidakhadiran asatidz dan santri untuk mengikuti kegiatan pembelajaran di TPQLB Spirit Dakwah Indonesia. Sebagai akibatnya, tak jarang saya mendapati fakta unik di setiap sesi pertemuan mengaji. Misalnya saja kehadiran santri yang silih bergantian, kehadiran santri terhitung jari, berbagai macam alasan kealpaan dilayangkan dan lain sebagainya. Termasuk kealpaan yang sengaja dibuat oleh pihak asatidz, sehingga dua orang asatidz terkadang agak sedikit kewalahan menghadapi 30 orang santri. Meski santri yang masuk pun sebenarnya terbilang fluktuatif: bisa lebih ataupun kurang. Bahkan belakangan ini, kealpaan itu kerap kali terjadi tanpa adanya izin.

Sebaliknya, dipandang gampang karena memang setiap hari Minggu adalah momentum yang tepat untuk berkumpulnya  semua santri yang memang memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda. Sebagian santri ada yang masih duduk di bangku TK, SLB, SMP dan SMA bahkan ada pula yang telah bekerja. Semua tumpah ruah menjadi satu. Jika umumnya masing-masing mereka di sekolah ditempatkan di ruangan khusus yang sangat terbatas dan teman yang tidak lebih dari 5 orang, maka di TPQLB Spirit Dakwah Indonesia mereka secara leluasa bisa saling membaur. Selain menambah relasi pertemanan sekaligus belajar beradaptasi dengan lingkungan: lintas usia, lintas disabilitas dan agenda kegiatan pembelajaran yang sama sekali baru.

Jika diamati lebih jauh, pihak para wali santri sendiri sangat mengapresiasi dan antusias untuk melibatkan anak-anaknya pada kegiatan pembelajaran di TPQLB Spirit Dakwah Indonesia. Kendati tak jarang pula ada kecanggungan, ketidaksiapan dan sedikit perlawanan yang dihadirkan oleh sang anak tatkala mengikuti pembelajaran di awal-awal masuk ke TPQLB Spirit Dakwah Indonesia. Saya kira respon tersebut dapat dimaklumi, karena memang setiap anak memiliki karakteristik tersendiri, sehingga untuk mendapatkan ritme terbaik dalam mengikuti pembelajaran ya harus melakukan adaptasi terlebih dahulu dengan lingkungan sekitar. Terlebih, tempat dan teman-teman yang sama sekali baru. Tentunya, itu semua adalah hal asing bagi mereka. 

Pernah satu ketika, seorang santri baru yang hiperaktif berlari-lari tanpa henti. Saking aktifnya, bahkan ia sampai membuat gaduh seisi musala. Teman-teman lain yang sedang mengaji merasa risih. Lantas dari berbagai pihak berusaha keras menghentikannya, mulai dari santri yang lebih dewasa berusaha menasehatinya, asatidz berupaya membujuknya sampai dengan diamankan oleh orangtuanya. Entah apa yang telah merasuki tubuhnya, yang jelas kala itu santri baru tersebut benar-benar sangat lincah. Seolah-olah ia memiliki tenaga yang berkali-kali lipat daripada anak pada umumnya. Orangtuanya menjelaskan bahwa sang anak sedang berusaha adaptasi dengan lingkungan baru yang ada dihadapannya.

Di kesempatan yang lain pernah pula ada satu kejadian, seorang santri baru tidak mau diajak untuk mengaji dan sangat susah pula untuk diajak negosiasi. Apabila didekati ia berlarian tak tentu arah. Akhirnya karena dibujuk sang orangtua ia mau, itu pun ia sendiri yang memilih dengan siapa mau mengaji. Akan tetapi dalam proses mengaji tersebut tanpa disangka-sangka ia mulai menggenggam tangan asatidz dan pelan-pelan mencakarnya. Meludahi asatidz. Sempat pula mengarahkan alat penunjuk huruf untuk mengaji (dalam bahasa Jawa disebut suding) ke arah mata asatidz. Bahkan di satu bagian yang paling ekstrem, ia berani  menggigit tangan asatidz sampai terkelupas. Berdarah meskipun kecil. 

Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu, pelan-pelan mereka menerima, terbiasa dan menikmati proses pembelajaran itu. Bahkan sejauh yang saya amati, tidak sedikit dari para santri TPQLB Spirit Dakwah Indonesia yang kemudian menjalin hubungan pertemanan dan kekeluargaan di luar TPQLB. Tak jarang para santri saling merayakan hari ulang tahun satu sama lain di antara mereka. Saling berkunjung ke rumah teman (utamanya di momentum lebaran), chatting dan video call via WhatsApp sampai dengan saling menaruh perhatian di kala ada salah satu temannya tidak masuk. Hal yang demikian tampak berlaku juga di kalangan para wali santri yang senantiasa mendampingi putra-putrinya. Keharmonisan itu, di lain waktu ditunjukkan dengan adanya kegiatan liburan bersama.

Tidak hanya itu, bagi pihak asatidz sendiri TPQLB Spirit Dakwah Indonesia adalah laboratorium yang sangat kompleks dan tak ada habisnya. Jadi TPQLB bukan sekadar tempat mengabdikan diri, melainkan di lembaga ini saya dan teman-teman berusaha meng-upgrade potensi diri dengan mengeksplorasi berbagai macam pengetahuan tentang dunia disabilitas. Mulai dari kategori disabilitas, interaksi, mempelajari bahasa isyarat yang digunakan, melakukan pendekatan dan negosiasi, mengamati potensi yang tumbuh dalam diri mereka, sampai dengan perkembangan pemahaman dari proses pembelajaran yang selama ini mereka ikuti. Tentu saja kegiatan eksplorasi tidak berhenti sampai di situ, masih banyak lagi poin-poin penting yang belum tergali dan menampakkan diri secara objektif.

Sikap positif dan keterbukaan yang ditampilkan oleh berbagai pihak yang bernaung di TPQLB tersebut secara tidak langsung menunjukkan kesadaran sebagai manusia pembelajar sejati. Bagi para santri, di TPQLB Spirit Dakwah Indonesia inilah mereka belajar menyeimbangkan ilmu antara ruang lingkup horizontal dan vertikal. Hablum min an-Nas dan Hablum min al-allah. Menempa kebutuhan sosial dan spiritual. Bagaimanapun keseimbangan di antara kedua faktor itu penting untuk tumbuh kembang mereka di era globalisasi dan pos-modernisasi- teknologi informasi ini. 

Begitu juga bagi pihak wali santri, dengan menitipkan dan mengikutsertakan putra-putrinya di TPQLB Spirit Dakwah Indonesia setidaknya akan membantu mengurangi beban tugasnya dalam mengajarkan tentang agama. Kendati demikian, bukan berarti pihak wali santri benar-benar terbebas dari tanggung jawab dan tugasnya sebagai orang tua. Justru melalui keikutsertaan yang aktif inilah beliau dapat mencermati bagaimana kami mengajari anaknya, sehingga barangkali saja metode ini dapat diterapkan pula tatkala belajar mandiri di rumah. Selain itu, dengan rutinnya mengantarkan dan menunggu putra-putrinya hingga proses belajar di TPQLB Spirit Dakwah Indonesia selesai sebenarnya beliau sedang belajar banyak tentang arti kesabaran dan keikhlasan. Sangat dimungkinkan pula di antara pihak wali santri terjadi sharing pengetahuan dan pengalaman perihal mendidik anak. 

Bahkan di agenda kegiatan selanjutnya, kami--pihak dewan asatidz-- juga memiliki rencana besar untuk mengisi waktu luang menunggu wali santri dengan beberapa program kajian atau sesi sharing pengetahuan dan pengalaman. Tentu saja, hal ini penting untuk dilakukan, mengingat banyak waktu yang terbuang sia-sia jika sesi menunggu selesainya proses pembelajaran mengaji jika diisi dengan hal-hal yang tidak penting dan unfaedah. Alangkah baiknya jika sesi itu diformulasikan khusus untuk meng-upgrade potensi diri dan diisi dengan kegiatan yang bermanfaat. Jika perlu, para santri mengaji orang tua pun ya mengaji. Sehingga orang tua dan anak sama-sama terteduhkan jiwanya, tidak pulang dengan tangan hampa. 

Adapun konsep acara untuk wali santri itu dapat dibuat sesantai dan senyaman mungkin, namun mengena. Jadi pihak wali santri pun merasa nyaman dan bahagia. Musala pun terasa homely banget untuk beliau semua. Pula merasakan ada kemanfaatan yang dapat ditengguk: baik oleh orang tua ataupun putra-putrinya. Tentu ini masih sebatas rencana. Untuk mewujudkan program pemberdayaan wali santri tersebut masih membutuhkan koordinasi, konfirmasi dan tindaklanjut lebih jauh antara pihak dewan asatidz dan pihak wali santri supaya agenda ini bukan sebatas wacana melainkan dapat menjadi aksi nyata. 

Sementara bagi para asatidz, sikap positif,  keterbukaan dan kepercayaan itu dapat dijadikan sebagai acuan untuk menyusun kurikulum dan modul pembelajaran yang lebih baik lagi. Tentu dengan pendekatan, model dan metode pembelajaran yang efektif dan efisien sesuai dengan kebutuhan kategori disabilitas. Utamanya, dalam hal ini menjadikan para asatidz untuk terus berproses dan belajar mengatasi problematika yang dihadapi tatkala mengajar. Terlebih, hampir keseluruhan dewan asatidz memiliki latar belakang bukan dari jurusan pendidikan. Akan tetapi, meksipun begitu pada kenyataannya kami semua terus berusaha mengatasi dan memperbaiki ketidaktahuan itu. Tidak ada salahnya mencoba, berkreativitas dan berinovasi, terlebih lagi ini untuk kemaslahatan umat.

Dengan demikian, hal itu menunjukkan bahwa kami akan terus survive dan menaklukkan tantangan demi tantangan yang datang menerjang seiring berjalannya waktu. Harapan kami cuma dua: semoga ada keberkahan dalam setiap upaya yang kami lakukan dan berhasil mencetak generasi muslim yang dapat berbakti pada orang tua, nusa bangsa dan agama. Tugas kami sebagai hamba hanya berusaha, selebihnya masalah hasil kami pasrahkan kepada pemilik segala Maha.


Tulungagung, 09-10 Juni 2022


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Serba yang Kedua

(Dokpri: flyer ngaji literasi edisi 4) Hemat saya angka 2 menjadi angka istimewa dalam ngaji literasi edisi keempat yang akan datang ini. Tepatnya, 3 kali angka 2 yang istimewa. Kenapa harus angka 2? Bukankah masih banyak angka lain: 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya? Nah, jadi bikin penasaran kan? Pertama, angka 2 yang menegaskan bahwa di momen ngaji literasi edisi ini adalah kali kedua saya menjadi moderator setelah sebelumnya saya beserta Bang Almahry Reprepans bertukar posisi. Tentu saja, dua kali menjadi moderator dalam rangka membedah buku solo kawan-kawan anggota SPK Tulungagung, bagi saya, adalah satu kehormatan dan kesempatan yang luar biasa. Saya dapat belajar bagaimana cara berbicara di depan kamera dan public speaking. Selain itu, pada ngaji literasi edisi keempat ini menandaskan dua kali sudah saya menjadi moderator dalam membedah buku solo perdana sahabat Ekka Zahra Puspita Dewi setelah sebelumnya dipertemukan dalam acara bedah yang diusung oleh komunitas Lentera. ...