Langsung ke konten utama

Bu Tejo dalam Peran Sebagai Citra Anak Zaman

Kurang lebih tiga bulan yang lalu jagat maya dihebohkan dengan boomingnya film pendek berjudul 'Tilik'. Salah satu film karya anak bangsa yang disutradarai oleh Wahyu Agung Prasetyo, Ravacana Film yang bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Film Tilik sendiri sebenarnya telah diproduksi semenjak 2018. Namun entah karena alasan apa, kemudian film itu menjadi trending topik dan bahan pembicaraan yang empuk kalangan netizen di dua tahun berikutnya. 

Upaya menerka-nerka alasan pun kian tumpah ruah ke permukaan. Film Tilik yang nangkring di kanal YouTube Ravacana Films akhirnya menyedot berjuta-juta pasang mata yang tercekik rasa penasaran. Jika diperhatikan, kian hari viewernya terus melesat hingga menyentuh angka 23 juta kali ditonton. (Satuan kalkulasi viewer hari ini).

Belum lagi ditambah dengan jumlah viewer repost film Tilik pada akun YouTube lain yang berusaha memanen hasil keboomingan tersebut. Seperti biasanya, akan selalu ada tangan-tangan jahil yang hendak mencari keuntungan instan di balik hasil kerja keras orang lain. 

Persoalan terkait copyright dan pembajakan liar atas satu karya sudah barang tentu menjadi kebudayaan kurang baik sekaligus tumbuh subur di negeri ini. Satu persoalan runyam yang belum benar-benar teratasi secara tuntas selama ini.

Kita yang tak punya kuasa apa-apa biarlah pura-pura lupa sejenak terkait hak cipta. Toh, di sini kita hanya akan memotret kausalitasnya semata-mata.

Keboomingan film Tilik tersebut merebak luas pada intensitas postingan di berbagai kanal media sosial lain. Mulai dari Facebook, Twitter, WhatsApp, Instagram, laman blog hingga menjadi topik hangat di beberapa koran elektronik. 

Meskipun demikian, intensitas postingan terkait film Tilik di berbagai kanal itu telah mengalami reduksi dengan variasi bebas yang dapat dikategorikan. 

Misalnya saja unggahan di Facebook, Twitter, WhatsApp dan Instagram lebih cenderung mengandalkan babakan percakapan tertentu dan qoute-qoute tokoh utama dalam film Tilik, Bu Tedjo. Sehingga yang muncul adalah wujud kalimat dan potongan adegan singkat. 

Sementara yang tertengger di halaman blog dan koran elektronik lebih memainkan peran penting pada deskripsi rangkaian kalimat percakapan dalam adegan. Pada tingkatan tertentu, bahkan opini-opini dan sudut pandang dalam upaya menguliti sekaligus mencari makna film Tilik lebih terasa berpusat di blog. 

Dari sekian banyak sudut pandang yang sempat mewarnai kontestasi wacana reeksitensi film Tilik tersebut ialah menggunakan pendekatan budaya ghibah (red; rasan-rasan dalam istilah Jawa). 

Upaya menguliti film Tilik menggunakan pendekatan kebudayaan ghibah (rasan-rasan) lebih memotret bagaimana peran Bu Tedjo yang cenderung ditafsirkan sebagai ikon dari hobi ibu-ibu yang doyan melatah atas ketabuan konstruksi sosial.

Dapat diartikan, ketabuan konstruksi sosial di sini sebagai satu kebudayaan umum yang sengaja dibentuk dan dilanggengkan oleh khalayak ramai dalam ruang lingkup daerah tertentu. Misalnya saja 'status lajang tokoh Dian' yang harus dihakimi oleh kebudayan tentang usia berapa perempuan itu harus menikah. 

Sementara apabila tidak sesuai dengan keumumannya, seakan-akan setiap orang mempunyai hak istimewa untuk mendikte kesadaran diri dan mengatur pilihan tentang kehidupan pribadi setiap personalitasnya. Ada rasa malu akut yang kian menjadi gundah dan resah manakala orang-orang lebih sering mencibirnya di ruang publik. 

Hal itu terus-menerus membuncah sampai ke ubun-ubun hingga memaksa dan memerkosa hak prerogatif sang korban untuk tunduk dan sesegera mungkin mengambil keputusan sesuai dengan ketabuan konstruksi sosial. 

Di satu sisi tampak jelas, rasa malu yang tinggi dan beban sosial lebih kentara mencambuk pihak orangtuanya. Seakan-akan cibiran sosial itu 'firman Tuhan' yang wajib dipaksakan orangtua terhadap anak-anaknya meskipun setelah menikah kelak mereka harus menanggung beban besar atas sebab-akibatnya. 

Secara tidak sadar ketabuan konstruksi sosial yang bersemayam dalam budaya rasan-rasan itu memiliki kontribusi dan kontrol penuh atas ketidakmapanan dalam berumahtangga sekaligus membludaknya jumlah status janda-duda muda yang masih berkepala dua. Kasus perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tidak sungkan merebak di mana-mana.

Hal yang demikian mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Data tersebut dapat dibuktikan dengan upaya penelusuran di google dengan kata kunci angka perceraian dan KDRT yang terjadi di Indonesia. 

Badan pusat statistik (BPS) 2019 menyebutkan jumlah angka perceraian di Indonesia dari tahun 2015-2018 terus mengalami peningkatan. 2015 sebanyak 353.843 kasus. 2016; 365.654 kasus. 2017; 374.516 kasus dan tahun 2018 menyentuh angka 408.202 kasus (sumber: databoks.katadata.co.id).

Sementara KDRT yang terjadi di Indonesia juga cukup tinggi. Berdasarkan rekapitulasi Komnas Perempuan, pada 2019 tercatat 5.114 kasus KDRT yang paling tinggi terjadi di ruang privat sang isteri. Sayangnya, rata-rata kasus KDRT lebih banyak memilih keputusan bercerai daripada mengandalkan undang-undang hukum pidana (sumber: voaindonesia.com).

Kalau direnungkan secara mendalam, hukum kausalitas rasan-rasan ini memang memiliki peran yang luar biasa dalam mengkonstruk tatanan kehidupan sosial masyarakat. 

Sayangnya, budaya ini telanjur bias gander, dilekatkan khusus pada perempuan. Padahal laki-laki juga tidak pernah bisa luput dari urusan gosip. Terlebih-lebih, bagi mereka yang suka nongkrong dan ngopi, pasti selalu saja ada hal yang mengharuskannya berlabuh pada pulau rasan-rasan.

Sampai di sini saya mulai curiga, jangan-jangan pola pikir yang digunakan dalam merangkai kalimat tulisan ini pun berjenis kelamin laki-laki. Sudut pandang akut sebagai patriarki.

Saya pikir, sejauh apapun menafsirkan diri sebagai simpatisan ataupun partisipan yang pro terhadap feminisme, laki-laki tetap saja tidak pernah mampu total menjadi feminisme sejati. 

Yang terjadi justru hanya sekadar upaya menerka-nerka, berusaha memahami kecenderungan rasa karena merasa berada di titik yang sama meskipun sesungguhnya sama sekali berbeda. Toh, perempuan dan laki-laki memiliki hati dan isian kepala yang berbeda.

Adapun ketika seorang lelaki memproklamirkan diri sebagai feminisme sejatinya, yang terjadi di sana tidak lain adalah bentuk permisif terhadap kehendaknya untuk setara semata-mata. Mencekal pikiran liar dan menyisihkan sudut pandang tertentu.

Tulungagung, 19 Oktober 2020

Komentar

  1. Gambaran keseharian perempuan, begitulah. Tulisan yang mantap

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sependek pengetahuan saya saja Bu. Di luar sana masih banyak perempuan tangguh yang terus menggemakan keluarbiasaannya, tidak terkecuali jenengan. Dan saya belum bisa menerka-nerka hal itu.

      Hapus
  2. Identitas perempuan mungkin bang Ron...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Identitas diri hanya salah satu bagian yang kebenarannya telah banyak dikonstruksi bukan oleh perempuannya sendiri.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Serba yang Kedua

(Dokpri: flyer ngaji literasi edisi 4) Hemat saya angka 2 menjadi angka istimewa dalam ngaji literasi edisi keempat yang akan datang ini. Tepatnya, 3 kali angka 2 yang istimewa. Kenapa harus angka 2? Bukankah masih banyak angka lain: 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya? Nah, jadi bikin penasaran kan? Pertama, angka 2 yang menegaskan bahwa di momen ngaji literasi edisi ini adalah kali kedua saya menjadi moderator setelah sebelumnya saya beserta Bang Almahry Reprepans bertukar posisi. Tentu saja, dua kali menjadi moderator dalam rangka membedah buku solo kawan-kawan anggota SPK Tulungagung, bagi saya, adalah satu kehormatan dan kesempatan yang luar biasa. Saya dapat belajar bagaimana cara berbicara di depan kamera dan public speaking. Selain itu, pada ngaji literasi edisi keempat ini menandaskan dua kali sudah saya menjadi moderator dalam membedah buku solo perdana sahabat Ekka Zahra Puspita Dewi setelah sebelumnya dipertemukan dalam acara bedah yang diusung oleh komunitas Lentera. ...