Langsung ke konten utama

Khotbah Jumat Sebagai Ajang Evaluatif

Salat Jumat pada minggu pertama di bulan September ini saya tunaikan di masjid Al-Azhar. Salah satu masjid yang letaknya tidak jauh dari kompleks perumahan Permei, satu rute yang sama dengan destinasi wisata warung kopi sekaligus track jogging pinggir kali (Pinka) Ngrowo.

Tepat di sebelah selatan masjid Al-Azhar Sukoanyar itu terdapat bangunan PAUD Taam dan madrasah Diniyah Al-Azhar.   Pelataran bangunan itu jelas dihiasi dengan permainan khas kesukaan anak-anak, di antaranya; ayunan, selorotan, kursi berputar, bola dunia panjat dan jembatan panjat. 

Dari kejauhan tampak jelas, salah satu ciri yang menandakan bahwa bangunan itu tempat belajar anak-anak ialah dekorasi dinding yang mulai tampak usang termakan zaman. Bahkan, beberapa paruh waktu, saya sering membuang wajah sejenak ke arahnya. Entah itu tatkala saya sedang beristirahat sejenak di serambi masjid ataupun di kala masih menduduki jok motor di parkiran.

Ah, tapi bukan potret sarana itu yang hendak saya ceritakan pada tulisan ini. Melainkan tentang cerita saya mengamati khotbah Jumat di masjid Al-Azhar. Salah satu kebiasaan baru semenjak saya mendapatkan pekerjaan di daerah Pinka. 

Sedari awal menunaikan salat Jumat di masjid Al-Azhar, saya beberapa kali sempat berinisiatif untuk memastikan isi khotbah yang disampaikan berjentre apa. Sederhananya saya tertarik untuk mengidentifikasi, mengoleksi intisari dan mendikotomikan materi khotbah yang disampaikan sang Khotib pada setiap sesi salat Jumat. 

Terhitung mulai bulan Januari akhir sampai Jumat pertama di bulan September, mayoritas isi khotbah yang disampaikan pada jamaah ternyata lebih cenderung bersifat normatif dan tekstualis. Semua materi khotbah Jumat yang disampaikan lebih nampak melangit tanpa dibenturkan dengan realitas kehidupan sosial yang ada di zaman serba modern ini. 

Walapun memang ada materi khotbah yang berusaha disampaikan dengan berpijak pada bingkai problematika dan tantangan dalam menjalani kehidupan di era disrupsi ini, itupun hanya satu-dua saja. Selebihnya monoton.  

Saya pikir, sejauh ini yang saya pahami, setiap racikan isi khotbah Jumat yang disampaikan itu sepenuhnya memang menjadi tanggung jawab Khotib. Alhasil ke mana muara persoalan materi khotbah itu dialirkan, ya sesuai dengan kehendak Khotib. Entah itu hendak mengambil materi dari buku kumpulan khotbah praktis, hasil tulisan sendiri, intisari analisis realitas kehidupan maupun teks pedoman khotbah yang telah dimakan rayap sekalipun. 

Kasus yang serupa juga saya temukan di beberapa perhelatan khotbah Jumat di masjid-masjid yang lain. Pada umumnya, sang Khotib hanya fokus menggugurkan rukun khotbah Jumat semata-mata tanpa menyodorkan persoalan terbaharu, memberi solusi ataupun pencerahan tentang bagaimana cara menyikapi kegandrungan realitas kehidupan yang ada. 

Dari kasus ini dapat kita garisbawahi bahwa peran Khotib juga sedikit banyak memengaruhi cara pandang dan pemahaman para jamaah yang hadir. Pendek kata, latar belakang keilmuan dan pengalaman pribadi sang Khotib selaiknya juga diperhitungkan tatkala dewan takmir memilih seorang Khotib. 

Bagaimanapun Khotib dapat digolongkan sebagai agen of change dalam cakupan wilayah kecil. Termasuk salah satu orang yang sepanjang pembicaraannya didengar oleh banyak orang, kecuali segelintir orang yang memang hobinya tidur tatkala khotbah Jumat dihelat. 

Khotib yang mapan akan keilmuan, peka terhadap kegelisahan zaman dan memiliki retorika yang baik dalam mengemas suatu persoalan setidaknya akan memancing rasa penasaran, menggaet ketertarikan dan menjaga kesadaran para jamaah yang mengikuti khotbah Jumat, entah itu mereka yang duduk di dalam ruangan ataupun yang ajeg di pelataran.

Model khotbah Jumat yang kontekstual dan syarat akan penafsiran terhadap realitas zaman ini saya temukan di masjid beberapa kampus, termasuk IAIN Tulungagung dan masjid besar Al-Husna Sumbergempol.

Ya memang benar, isi khotbah Jumat yang relatif segar dan memotret permasalahan yang sedang dihadapi oleh khayalak ramai itu lebih terasa "ngeh" dan gereget untuk didengar. Bahkan tak jarang pula, karena merasa berhasil menangkap makna utuh dari khotbah Jumat yang disampaikan itu perasaan pun terasa plong.

Lebih dari itu, dengan memahami isi khotbah Jumat yang bernafaskan kontekstual, terkadang rentetan ide pun seringkali bermunculan. Rasa-rasanya materi yang disampaikan itu sangat tidak layak untuk diabaikan. Terlebih lagi, sangat sayang bila nasibnya harus sekadar menguap di permukaan. Justru poin-poin penting itu harus sesegera mungkin diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Coba saja kita bayangkan, tatkala semua jamaah salat Jumat itu berhasil menangkap makna utuh isi khotbah yang disampaikan, kemudian mereka merasa tertampar dan tersadarkan, hingga akhirnya memutuskan diri untuk berubah, karakter pribadinya menjadi lebih baik.

Selanjutnya Ia pun merasa terpanggil untuk menyampaikan materi itu kepada khalayak ramai yang secara sengaja dijumpainya. Entah itu tatkala cangkrukan di warung kopi, tatkala berkunjung ke sanak famili atau karib-kerabat, hingga di tempat kerja mereka sekalipun. Kiranya sudah berapa banyak perubahan yang terjadi? Belum lagi jika masing-masing mereka mengunggah materi itu ke media sosial, mungkin akan lebih banyak lagi orang-orang yang tercerahkan.

Seandainya itu terjadi, mungkin telah berabad-abad silam kita menjadi pribadi yang lebih baik. Setidaknya masing-masing pribadi kita tidak menjadi sosok yang gampangan dalam menelan informasi dan mudah terbawa-bawa aliran sungai yang kita sebut toxic dalam beragama. 

Jika kita meminjam istilah Fauzan Soleh sebutkan saja itu dengan paham radikalisme. Sementara jika kita meminjam istilah Karl Marx, sebutkan saja agama sebagai candu. Candu seperti apa? Candu yang justru melulu membelenggu manusia untuk berusaha mencapai usahanya yang maksimum. 

Di mana manusia tidak melulu diiming-imingi bayangan surga dan neraka, ganjaran-pahala dan dosa tatkala manusia hendak melangkah lebih jauh dalam mencapai keutamaan hidupnya. Termasuk di dalamnya berusaha menempatkan hati, akal dan nurani dalam mengahadapi kegandrungan realitas sosial yang semakin edan ini.

Bagaimanapun sangat tidak elok, apabila kita hendak menggunakan akal pikiran sebagai pendekatan dalam mengkaji sesuatu permasalahan lantas disebut bid'ah. Mungkin kita telah lupa bagaimana sekte Mu'tazilah yang sempat mewarnai kontestasi aliran Kalam dalam tubuh islam di masa silam. 

Bagaimanapun sangat kemaruk, apabila ada golongan yang menyebutkan dan mengkafir-kafirkan NKRI yang menggunakan sistem pemerintah demokrasi dan berpedoman pada Pancasila sebagai ideologi negara di tengah-tengah ketegangan zaman sekarang ini. 

Mungkin mereka lupa bahwa sistem pemerintah dalam Islam sendiri bukan hanya khilafah, melainkan berganti-ganti. Bahkan bila dipotret lebih detail lagi, yang tampak jelas justru sistem pemerintahan yang bersifat kontekstual sekaligus tidak pernah lepas dari sengkarut politik "kedinastian".

Konteks khotbah Jumat dalam menghadapi carut-marut pusaran zaman, sejatinya dapat dijadikan sebagai ajang evaluatif, media yang efektif dalam menumbuhkan kesadaran, saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran, serta ajang muhasabah diri massal yang berkelanjutan.

Seandainya, materi-materi khotbah itu dirancang sedemikian rupa untuk mengkonstruksi persamaan pikiran, tujuan dan kesadaran guna peradaban yang lebih baik dalam segala aspek, bukankah itu  memungkinkan? Bukankah salah satu rukun khotbah Jumat itu adanya wasiat dari sang Khotib? 

Itu berarti peran sang Khotib tidak jauh berbeda dengan kalangan Brahmana. Kalangan yang benar-benar teristimewakan dan memiliki kuasa dalam hal mengendalikan massa. Bukankah demikian?


Tulungagung, 7 September 2020


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Serba yang Kedua

(Dokpri: flyer ngaji literasi edisi 4) Hemat saya angka 2 menjadi angka istimewa dalam ngaji literasi edisi keempat yang akan datang ini. Tepatnya, 3 kali angka 2 yang istimewa. Kenapa harus angka 2? Bukankah masih banyak angka lain: 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya? Nah, jadi bikin penasaran kan? Pertama, angka 2 yang menegaskan bahwa di momen ngaji literasi edisi ini adalah kali kedua saya menjadi moderator setelah sebelumnya saya beserta Bang Almahry Reprepans bertukar posisi. Tentu saja, dua kali menjadi moderator dalam rangka membedah buku solo kawan-kawan anggota SPK Tulungagung, bagi saya, adalah satu kehormatan dan kesempatan yang luar biasa. Saya dapat belajar bagaimana cara berbicara di depan kamera dan public speaking. Selain itu, pada ngaji literasi edisi keempat ini menandaskan dua kali sudah saya menjadi moderator dalam membedah buku solo perdana sahabat Ekka Zahra Puspita Dewi setelah sebelumnya dipertemukan dalam acara bedah yang diusung oleh komunitas Lentera. ...