Langsung ke konten utama

Kategori Waktu dalam Menunaikan Salat

Ada banyak pembagian waktu dalam agama Islam, di antaranya: waktu untuk menunaikan ibadah salat, puasa, mengeluarkan zakat, ibadah haji, umrah, waktu yang tepat untuk berdo'a, melafalkan akad, mengikrarkan janji, mengazamkan niat dan lain sebagainya.

Setiap masing-masing waktu itu memiliki cakupan ruang, kuantitas, intensitas dan aturan tertentu yang berlaku khusus dalam menunaikan satu perbuatan yang dikehendaki oleh subjeknya, sehingga sangat tidak mungkin untuk saling memukul rata satu sama lain di antaranya. 

Misalnya saja, waktu yang berlaku untuk menunaikan salat tidak pernah bisa disamakan dengan waktu yang berlaku dalam mengeluarkan zakat. Begitu halnya rentan waktu untuk menunaikan ibadah puasa tidak akan sama seperti waktu dalam menunaikan ibadah haji atau umrah.

Meskipun demikian, dari sekian waktu yang telah disebutkan di atas, namun penulis di sini lebih tertarik untuk sedikit mengorek waktu terkait dengan ibadah salat.

Ibadah salat hukumnya wajib bagi setiap muslim dan muslimah. Kewajiban yang berlaku untuk setiap individu ini dalam terminologi Islam dikenal dengan istilah fardu 'ain. Sementara kewajiban yang  pelaksanaannya cukup dikerjakan oleh perwakilan saja disebut dengan istilah fardu kifayah. Seperti halnya mengurusi dan menyalatkan orang yang meninggal dunia. 

Dahulu, sebelum varinitas jam tercanangkan sebagai parameter perputaran waktu, untuk mengetahui telah dimulainya masuk waktu salat fardu dipahami dengan membaca tanda-tanda yang berasal dari pergerakan alam semesta. Utamanya, perputaran matahari yang bertautan dengan panjang-pendeknya bayangan satu objek tertentu dan hadirnya mega. Termasuk di dalamnya kemunculan lembayung sebagai tanda memasuki waktu salat magrib.

Pembahasan tentang waktu salat fardu melalui pembacaan tanda-tanda pergerakan alam semesta ini saya temukan dalam kitab Safinatun Naja. Salah satu kitab populer karya ulama besar tanah Banten, Syekh Nawawi al-Bantani. Sementara dalam tingkatan sekolah formal, materi ini saya lahap pada tahun kedua di masa putih-biru.

Selain berkewajiban menunaikan ibadah  salat fardu yang terbagi menjadi lima waktu; Dzuhur, Asar, Magrib, Isya' dan Subuh, dalam agama Islam juga terdapat kategori waktu yang berlaku khusus untuk menunaikan salat.

Pertama, afdhalul waqtu atau waktu yang paling utama. Waktu yang paling utama dalam menunaikan salat ialah di awal waktu. Lebih tepatnya, mendirikan salat berjamaah di masjid beberapa saat setelah adzan dikumandangkan oleh mu'azin. 

Dalam konteks ini dapat dikatakan, mungkin hanya segelintir orang saja yang secara konsisten mampu menunaikan salat di awal waktu. Terlebih-lebih jika kita melihat bagaimana hiruk-pikuk manusia modern yang terbelenggu dengan setiap rutinitasnya yang super padat. Waktu luangnya bahkan dapat terhitung jemari. Waktunya telah terlumat habis tergadaikan untuk mengeruk materi. 

Meskipun demikian, kesempatan untuk menunaikan salat fardhu berjamaah di awal waktu ini masih terbuka lebar-lebar selama kita mau mengupayakannya dan raga masih mengandung jiwa. Menata kembali  manajemen waktu dan mendahulukan kebutuhan pokok utama dalam menjalani kehidupan ini supaya lebih baik adalah kunci tolak ukurnya.

Kedua, waktu ikhtiar. Waktu ikhtiar di sini bermakna rentan waktu yang dapat diusahakan oleh setiap orang untuk menunaikan salat. Kesempatan waktu yang sangat bergantung pada kehendak, niat dan tekad setiap masing-masing individu. Hendak pukul berapa ia mendirikan salat, tergantung pada keputusannya.

Waktu ikhtiar ini dapat dikatakan sebagai kesempatan yang bersifat suka-suka. Mereka-mereka yang kerapkali tergolong sebagai penganut waktu ini lebih cenderung mengutamakan kepentingan yang sedang digelutinya sembari diam-diam menomorduakan salat. Ada celah yang mendeskripsikan, bahwa mereka yang termasuk ke dalam golongan waktu ikhtiar ini lebih suka menunda-nunda.

Meski demikian, berbeda halnya tatkala seseorang melakukan satu kegiatan yang memang dalam Islam juga memiliki hukum yang sama-sama wajib. Misalnya saja menuntut ilmu. Seseorang yang sedang sibuk menuntut ilmu, termasuk belajar di dalamnya dikatakan boleh mengazam salat untuk dikerjakan pada waktunya. Dikerjakan pada waktunya di sini dalam artian tidak dikerjakan pada awal waktu. 

Pengecualian ini hanya berlaku tatkala ada dua urusan yang sama-sama harus dikerjakan dan hukumnya wajib akan tetapi berbenturan. Ini berarti tidak dapat dipukul rata.

Ketiga, waktu jawaz atau beberapa saat sebelum waktu salat fardu itu berakhir. Kurun waktu ini umumnya digunakan oleh mereka yang memiliki kebiasaan menunda-nunda yang telah akut bercampur rasa malas untuk mendirikan salat.

Namun, meskipun demikian bukan berarti ini suatu judge bahwa mereka yang mengerjakan salat di akhir waktu  benar-benar seorang pemalas dan memiliki hobi menunda-nunda dalam segala hal pekerjaan. Pasalnya, di daerah sekitar Plosokandang juga memiliki tradisi mengerjakan salat di akhir waktu. 

Sememangnya harus ditegaskan pula, bahwa terdapat keterangan yang menegaskan disunnahkan untuk menunaikan salat di akhir waktu. Namun, redaksi keterangan itu lebih cenderung dikhususkan untuk salat Isya. Keterangan ini,  saya temukan dalam kitab Tangqihul Qaul. Kitab kuning karangan Syekh Nawawi Albantani.

Sementara di satu sisi, ada kecenderungan keterangan ini diartikan salah kaprah oleh sebagian orang, sehingga seolah-olah pengakhiran menunaikan salat ini berlaku untuk setiap salat fardu. Padahal tidak demikian. 

Nampaknya harus digaris bawahi pula, bahwa sangat dimungkinkan akan ada banyak alasan pula mengapa ada orang yang mengerjakan salat pada waktu jawaz ini. Satu alasan logis yang tak pernah mampu dipaksakan pada setiap masing-masing orang.

Keempat, waktu haram. Berbeda dengan waktu jawaz, waktu haram di sini berarti mengerjakan salat fardu bukan pada tempatnya. Dalam artian mengerjakan salat fardu setelah waktu pengerjaannya yang dianjurkan telah berakhir. 

Sebagai contohnya mengerjakan salat Dzuhur pada waktu salat Asar tanpa ada niatan dijamak takhir. Contoh lainnya seperti mengqodo salat fardu yang terlewat karena lupa (tertidur). 

Pengerjaan salat fardu di waktu haram ini memang boleh dikerjakan terlebih-lebih itu hukumnya wajib,  akan tetapi meskipun demikian, alangkah baiknya hal itu dihindari. Bagaimanapun salat pada waktunya lebih utama. 

Sedangkan yang terakhir ialah waktu udzur. Waktu udzur di sini bermakna satu keadaan yang mengalangi kita untuk mengerjakan salat sementara waktu untuk menunaikan salat telah tiba. Sederhananya, waktu udzur di sini keadaan yang menuntut untuk adanya pengecualian dan kemudahan untuk menunaikan salat. Dalam Islam keadaan ini disebut dengan istilah rukhsoh (keringanan).

Bentuk rukhsoh sendiri bisa macam-macam, di antara; menjamak salat, mengqoshor salat, mengerjakan salat dengan keadaan; berbaring, duduk, dengan gerakan isyarat dan lain sebagainya.

Atas dasar demikian, maka pemberlakuan rukhsoh sendiri hanya bersifat khusus dan eksklusivitas. Baik itu ditinjau dari sisi keadaan fisik orang yang dikenai kewajiban menunaikan salat, waktu dan tempat. Misalnya saja orang yang sedang melakukan perjalanan jauh dibolehkan untuk menjamak dan mengqoshor salat. 

Hal ini berlaku dengan catatan telah memenuhi syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan jumhur ulama untuk melakukan pengerjaan salat di waktu udzur. 

Sementara orang-orang yang tidak mempunyai kendala tertentu dan halangan apapun, sama sekali tidak diperbolehkan untuk melakukan rukhsoh salat fardu pada masing-masing waktunya yang berlaku.

Meskipun demikian, adanya kategorisasi waktu untuk menunaikan salat fardu di sini bukan berarti setiap orang bisa memilih mengulur pengerjaan salat dengan semena-mena, sekehendak hati dan sesuka dirinya dengan alasan yang tak jelas dan tak masuk logika. 

Kategorisasi waktu ini justru hendak menegaskan bahwa Islam adalah agama Rahmatan Lil 'Alamin yang tidak memberatkan setiap pemeluknya untuk menjalankan kewajiban. Baik itu tatkala seorang muslim-muslimah dihadapkan dengan  ketidaksempurnaan fisik, onak dalam sekat kontestasi ruang, waktu dan jarak. 

Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa seorang muslim yang menjalankan salat lima waktu dianalogikan seperti orang yang melakukan mandi lima kali setiap hari. Di mana setelah mandi tersebut dapat diartikan  manusia akan suci kembali dari sekian gudang dosa dan kesalahannya. Allahu Ghofur, igfirlanaa.

Penekanan yang harus diblue print di sini adalah dalam keadaan apapun manusia sebagai makhluk; Khalifah dan hamba di muka bumi ini jangan sampai lupa untuk menegakkan tugas, kewajiban dan kesadaran diri untuk senantiasa menghamba pada Tuhannya sebagai pemilik segala Maha. 

Demikianlah sedikit intisari khotbah Jumat yang saya tangkap di minggu pertama pada bulan September ini. Semoga bermanfaat. Ohya, apabila ada kekeliruan dan kesalahan dalam penyampaian informasi di atas mohon dikoreksi. Utamanya bagi para ahli hadis dan kalangan yang mumpuni dalam urusan agama koreksinya sangat dinanti. Hehe

Akhir kata, semua yang tertuang dalam tulisan ini tidak lain cambukan yang mendalam untuk diri pirbadi, sementara seluruh ketidaktepatan dalam tulisan murni dari saya pribadi dan mencerminkan kekurangan yang ada di dalam diri. 


Tulungagung, 14 September 2020

Komentar

  1. Sangat bermanfaat dan begitu mengingatkan (saya secara pribadi).
    Terima kasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nggeh mas, terimakasih banyak sudah mampir 🙏. Semoga masing-masing pribadi kita menjadi lebih baik lagi.

      Hapus
  2. Sholat jamak qashar adalah fasilitas istimewa bagi para musafir. Sebelum pandemi, saya sangat menikmati dispensasi yang telah disiapkan olehNya ini. Mantap tulisannya.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Serba yang Kedua

(Dokpri: flyer ngaji literasi edisi 4) Hemat saya angka 2 menjadi angka istimewa dalam ngaji literasi edisi keempat yang akan datang ini. Tepatnya, 3 kali angka 2 yang istimewa. Kenapa harus angka 2? Bukankah masih banyak angka lain: 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya? Nah, jadi bikin penasaran kan? Pertama, angka 2 yang menegaskan bahwa di momen ngaji literasi edisi ini adalah kali kedua saya menjadi moderator setelah sebelumnya saya beserta Bang Almahry Reprepans bertukar posisi. Tentu saja, dua kali menjadi moderator dalam rangka membedah buku solo kawan-kawan anggota SPK Tulungagung, bagi saya, adalah satu kehormatan dan kesempatan yang luar biasa. Saya dapat belajar bagaimana cara berbicara di depan kamera dan public speaking. Selain itu, pada ngaji literasi edisi keempat ini menandaskan dua kali sudah saya menjadi moderator dalam membedah buku solo perdana sahabat Ekka Zahra Puspita Dewi setelah sebelumnya dipertemukan dalam acara bedah yang diusung oleh komunitas Lentera. ...