Langsung ke konten utama

Refleksi Acara


Refleksi Mengaji Mengasah Jati Diri Indonesia

Terhitung empat hari sudah acara ngaji dengan tema “Kita Ber-Indonesia Kita Beragama” bersama budayawan masyhur Presiden Janc*kers Sujiwo Tejo, Gus Reza beken selaku pengasuh PP Al Mahrusiyyah Lirboyo dan sang rektor kampus kita tercinta, Bapak Maftukin. Beliau bertiga hadir sebagai narasumber utama disempurnakan dengan salah seorang bintang tamu selaku host yang sangat dielu-elukan kedatangannya, Bapak Menteri Agama RI kita, Lukman Hakim Saifuddin. Ini merupakan salah satu agenda besar dari serangkain acara milad ke-50 IAIN Tulungagung. Semoga saja, topik ini belum begitu basi untuk dibicarakan. (Hanya ujaran alibi malas saya yang urak-urakan untuk memberi catatan molor).
Sedikit menggerutu dengan nada yang sangat disayangkan, Gus Tejo harus menerima kenyataan bahwa yang menjadi host untuk performanya kali ini ialah seorang lalaki. Bukan seorang perempuan impian yang selalu memberinya pencerahan dikala tampil di muka umum. Namun meskipun demikian, tetap saja tak sedikitpun mengurangi rasa hormatnya terhadap host istimewa yang jauh-jauh datang dari Jakarta. Tak sedikitpun mengurunkan niatnya untuk memberi wejangan kepada jamaah sarungan yang mayoritas berpakaian putih. Kecuali saya dan segilintir orang saja yang mungkin telah kafir dari nuansa dominasi warna. Termasuk peci jemaah yang seakan-akan mencemooh sombong dengan warna hitamnya yang mencolok. Ah, sial! Bukan kekafiran itu pula yang hendak disodorkan. Semoga pikiran anda tidak tersesatkan. Sedang acara mengaji telah beberapa saat dimulai.
Nyinyiran yang terbalut senyum itupun usai begitu saja. Larut dalam syair-syair lagu sufistik yang didendangkan Gus Tejo dan dilengkapi dengan yel-yel khas para punggawa Janc*kers yang memecah kesunyian malam. Bak tabuhan gong yang sangat berguna menghidupkan suasana untuk menandakan mulainya perdiskusian. Gemuruh tak karuan yang berinduk dari mulut-mulut sompralpun terhenti, mulai menghayati pengajian.
Padahal sebelumnya, kaum santri yang diproyeksikan Clifford Geertz berpeci dan sarungan telah termurtadkan dari syahadat syar’annya. Melumat habis ketabuan yang disakralkan semenjak lahirnya ke dunia. Seolah-olah meruntuhkan sisi alimnya. Ah, masa demikian! Begitu singkatkah engkau memberi penilaian spiritualitas agama yang memang urusan batin. Menghakimi sesuatu hal yang tak dapat terlihat sedikitpun secara kasat mata. Yang kau utarakan hanya egosentrisme yang bermata kuda. Cermin pekat, yang hanya bersisi benar-salah belaka. Stop turunlah engaku dari singgasana Tuhan yang bukan hakmu!. Jangan terlalu girang dalam melampui batas-batas kemakhlukanmu.
Lautan jemaah telah tergoyahkan akut dengan sorakan “janc*k”. Istilah misuh yang begitu sangat ditabukanpun menjadi lumer dimulut. Memang tak dapat dinafikan, bahwasannya tak semua jemaah berujar janc*k. Sehingga tak mungkin pula jemaah pengajianpun dipukul rata menjadi kafir mendadak. Tak terkecuali gus Reza yang dengan santai menyebutkannya. Sembari memberikan penjelasan yang inti pembicaraannya ialah bisa saja orang itu berujar dengan perkataan misuh, namun bisa jadi hatinya bertolak belakang. Hatinya justru menyebutkan niat untuk meninggalkan maksiat dan kejelekan.
Jika demikian, toh, engkaupun belum tahu betul apa yang sebenarnya dimaksud misuh. Apa hanya sekadar perkataan janc*k yang tergolong misuh?. Bagaimana dengan nada diatonis orang yang berujar “jiiiangkrik!, “cacing!” dan sebutan-sebutan lainnya yang digunakan untuk mendeskripsikan rasa kesal dan ghodhob yang melual-luap. Termasuk pula menggunakan istilah-isitlah baik untuk misuh.
Layaknya akan menjadi sah pula apabila saya ingin meminjam kacamata Emile Durkheim dalam memandang misuh. Dimana sakralitas agama sejatinya tak dapat lepas dari konstruksi budaya sosial dan historitas masyarakat. Termasuk pula kesepakatan bersama dalam menentukan budaya dan istilah-istilah yang terkategorikan misuh. Memang istilah janc*k yang menjadi ciri khas gus Tejo pun tak dapat dipisahkan dari tanah kelahirannya, Surabaya. Dimana istilah itu ditafsirkan dalam bentuknya yang sangat intensional. Menandakan bukti kedekatan dan keakraban di antara satu sama lain. Sehingga istilah janc*k telah menjadi kebudayaan interkoneksi sosial masyarakat yang lumrah. Bukan lagi sebagai sesuatu hal yang ditabukan. Terlebih-lebih disakralitaskan dalam hubungannya dengan keberagamaan. Sementara itu, istilah janc*k menjadi momok ketabuan yang akut untuk disebutkan di bagian wilayah Tulungagung dan sekitarnya.
Sebenarnya masih panjang lebar wacana yang telah dikupas dalam pengajian tersebut. Namun sayang untuk seonggok patahan kata kali ini saya belum berhasil menuangkannya secara total. Sebab pikiran saya masih dikaburkan dengan hilir-mudiknya kaum sofis (penjual kacang dan kerupuk) yang dengan leluasa menjajakan suara lantangnya menyerukan produk yang digembol. Dan terkadang mengahalangi pandangan. Belum lagi ditambah dengan suara sound sistem yang wujudnya di luar ekspektasi. Sangat begitu nyaring dibanding suara jangkrik diperkebunan dan persawahan tetangga kos.
  

    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Serba yang Kedua

(Dokpri: flyer ngaji literasi edisi 4) Hemat saya angka 2 menjadi angka istimewa dalam ngaji literasi edisi keempat yang akan datang ini. Tepatnya, 3 kali angka 2 yang istimewa. Kenapa harus angka 2? Bukankah masih banyak angka lain: 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya? Nah, jadi bikin penasaran kan? Pertama, angka 2 yang menegaskan bahwa di momen ngaji literasi edisi ini adalah kali kedua saya menjadi moderator setelah sebelumnya saya beserta Bang Almahry Reprepans bertukar posisi. Tentu saja, dua kali menjadi moderator dalam rangka membedah buku solo kawan-kawan anggota SPK Tulungagung, bagi saya, adalah satu kehormatan dan kesempatan yang luar biasa. Saya dapat belajar bagaimana cara berbicara di depan kamera dan public speaking. Selain itu, pada ngaji literasi edisi keempat ini menandaskan dua kali sudah saya menjadi moderator dalam membedah buku solo perdana sahabat Ekka Zahra Puspita Dewi setelah sebelumnya dipertemukan dalam acara bedah yang diusung oleh komunitas Lentera. ...