Dokrpi flyer Daras Buku Surat-surat Ti Jepang Edisi Perdana
Ngaji Literasi edisi Daras Buku Surat-surat Ti Jepang tidak lahir di ruang hampa melainkan berpijak pada alasan berlogika. Alasan yang menjadikan mengapa upaya review atas buku berbahasa daerah--dalam konteks ini berbahasa Sunda--menarik untuk diperbincangkan. Lantas, memang apa saja alasan yang diusung?
Menepati janji mengulas buku adalah alasan pertama. Dahulu, saya mendapatkan buku Surat-surat Ti Jepang saat kopdar SPK Tulungagung ke-dua di kediaman Prof. Naim di perumahan BMW Bago. Buku yang terdiri dari enam jilid itu lantas dibagi dua: antara saya dan Bang Woks.
Masing-masing orang mendapatkan tiga jilid. Saya mendapatkan buku bagian jilid satu hingga jilid tiga. Sedangkan Bang Woks sisanya, tiga jilid terakhir. Persis di sela-sela pembagian buku, saya sempat usul untuk saling mencicipi seri buku jika sama-sama telah menyelesaikan buku bacaan yang ada.
Tenggat khatam baca buku ditentukan. Dua tangan saling berjabatan. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, pada akhirnya kita sama-sama belum mengkhatamkan bagian masing-masing. Harus diakui dengan lantang, bahwa membaca buku berbahasa ibu (baca: berbahasa daerah di mana kami dilahirkan) faktanya bukanlah sesuatu hal yang mudah.
Tidak semudah ngedabrus bersama teman saat kumpul di tongkrongan. Mengapa demikian? Sebab ada begitu banyak istilah dan kata bahasa Sunda yang bersifat buhun. Buhun berarti lawas. Di kala buntu, saya pribadi bertanya langsung kepada ibu mengenai beberapa arti kata dan kalimat yang tampak asing.
Dalam mengartikan bahasa daerah, kehadiran, keterlibatan dan kontribusi native memang penting. Terlebih jika kita tidak memiliki kamus besar bahasa daerah di rumah. Kendati kamus besar bahasa daerah sudah selaiknya dapat diakses dengan mudah di zaman teknologi digital namun hal itu tidak bisa menjadi bahan pegangan.
Mengapa demikian? Sebab belum tentu mesin pencari itu mampu melakukan kerja sesuai instruksi. Selain itu apa yang dimaksud bisa jadi tidak ditemukan alias nihil. Maklum saja, data yang tersimpan di mesin pencarian hakikatnya tetap terbatas. Tergantung derasnya upaya input data dari user berbagai kanal media sosial-digital.
Dalam konteks inilah Prof. Naim menyerahkan buku Surat-surat Ti Jepang kepada saya dan Bang Woks. Beliau tahu betul, kami orang-orang barat. Bahasa Sunda adalah makanan kami sedari kecil. Meski dasawarsa terakhir kami bermukim di tanah Tulungagung namun bahasa ibu pasti tidak akan luntur.
Secercah harapan beliau titipkan kepada kami. Dalam pungkasan pertemuan kopdar beliau sempat berpesan agar kami mengulas buku Surat-surat Ti Jepang yang full berbahasa Sunda tersebut. Kami menyambutnya dengan anggukan kesepakatan. Melalui podcast Ngaji Literasi inilah kami menemukan momentum yang tepat.
Meneladani himmah dan ghirah literasi yang dimiliki kang Ajip Rosidi adalah alasan kedua. Saya bersepakat dengan H. Usep Romli yang menyebut kang Ajip sebagai sang revolusioner literasi di tanah Sunda. Kiprah kang Ajip dalam memajukan literasi berbahasa Sunda memang tidak dapat dipandang sebelah mata.
Kecintaan kang Ajip terhadap dunia literasi sudah terasah mulai sejak duduk di sekolah menengah pertama. Disebutkan ia kerap berkirim surat dengan H. B. Jassin. Bahkan, undangan pernikahan yang sempat kang Ajip kirimkan menjadi koleksi dokumentasi pribadi H. B. Jassin hingga kini.
Lambat laun, tangan kreatifnya melahirkan banyak karya sastra dan ilmiah. Utamanya karya yang berbahasa Sunda. Melalui karya-karya itulah beliau banyak bergaul dengan pengarang, sastrawan dan budayawan naik daun pada zamannya. Jejaring antar penulis terbangun secara organik.
Kepedulian beliau terhadap buku-buku berbahasa Sunda lantas kian melejit. Hal itu dibuktikan dengan mendirikan penerbit buku-buku Sunda seperti Kiwari, Tjupumanik, Giri Mukti Pasaka, Kiblat Buku Utama hingga Pustaka Jaya. Tidak hanya fokus menerbitkan buku cetakan baru namun penerbit tersebut juga kerap menerbitkan buku-buku penting yang mungkin sulit dicari (hilang dari peredaran).
Tak hanya itu beliau juga berusaha memberikan apresiasi terhadap karya sastra dan pengarang Sunda berjasa melalui Yayasan Rancage. Dalam perkembangan selanjutnya yayasan Rancage melebarkan sayapnya dengan memberikan reward terhadap karya sastra dan penulis kedaerahan seperti Jawa, Bali, Lampung, Batak hingga Banjar.
Yayasan Rancage juga menyediakan hadiah Samsoedi untuk buku bacaan anak atau remaja berbahasa Sunda berpengaruh. Sedangkan hadiah Hardjapamekas disediakan bagi guru bahasa Sunda lintas jenjang SD, SMP dan SMA yang berprestasi dalam mengajarkan bahasa Sunda. Kabar bahagia bagi seluruh guru di tanah Sunda.
Kiprah yang moncer ini menjadikannya dipercaya sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan ketua Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) di tahun 1970 an. Lahirnya buku-buku intruksi presiden (Inpres) untuk perpustakaan sekolah dan sekolah dasar inpres adalah salah satu keberhasilan pada masa ia menjabat. Disebutkan, terdapat 130.000 eksemplar buku yang dibayar kontan dan disebarkan ke pelosok negeri.
Kontribusi yang tidak main-main tersebut menjadikannya mendapat undangan fellow The Japan Foundation dan 22 menetap di Kyoto, tepatnya di Iwakura untuk menjadi dosen tamu di beberapa kampus kenamaan. Mulai dari kampus Osaka Gaikukuga Daigaku, Kyoto Sangyo Daikagu, Tenri Daigaku dan sebagainya.
Di masa menetap di Jepang inilah buku-buku solo beliau tak henti-hentinya terbit. Mulai dari Trang-trang Kolentrang (1999), Ayang-ayang Gung (2004), Yang Datang Telanjang (2008), Surat-surat Ti Jepang (2018) dan lain sebagainya. Selama 22 tahun di Jepang, disebutkan beliau hampir menulis sekitar 400-500 surat setiap tahun. Itu belum ditambah dengan karya sastra dan ilmiah. Perwujudan penulis prolifik yang sesungguhnya.
Yang demikian terjadi karena memang bagi kang Ajip membaca, menulis dan mempublikasikan karya itu adalah bentuk kesadaran. Kesadaran atas arah perubahan peradaban manusia. Beliau percaya, perubahan besar dimulai dari kesadaran atas diri sendiri, lingkungan terdekat hingga berdampak ke berbagai pelosok negeri. Semangat seperti inilah yang selaiknya kita teladani dan kita terapkaan di dalam diri.
Alasan ketiga saya bersepakat dengan pandangan J. J. Rizal (sejarawan lulusan UI) yang menyebutkan bahwa surat-surat dari Jepang bak etalase luasnya wawasan pengetahuan kang Ajip tentang kebudayaan. Melalui Surat-surat Ti Jepang yang berbahasa Sunda itu kang Ajip sejatinya sedang melakukan tiga hal: memotret arus perkembangan, merawat jejaring sosial dan menentukan orientasi peradaban Sunda.
Hal itu kian nyata manakala kang Ajip memandang aktivitas menulis surat di Jepang kepada teman yang ada di Indonesia disebut hobi yang bermanfaat dalam mengasah otak, membersihkan hati dan merawat ikatan kekeluargaan. Menulis sebagai pelipur lara hati kepada handai taulan saat tinggal berdua di negeri Sakura bersama istri tercinta, Empat. Padahal, jika dihitung-hitung, biaya perangko, pos dan ekspedisi untuk mengirimkan surat di zaman itu tidaklah murah. Ada harga yang perlu ditebus.
Ada indikasi bahwa bagi kang Ajip aktivitas surat-menyurat adalah bentuk realisasi dari kesadaran atas melestarikan kebudayaan. Kebudayaan bagi kang Ajip bersifat holistik dan kompleksitas. Kebudayaan bukan sekadar sastra, bahasa dan seni rupa melainkan perbukuan, politik, ideologi, pendidikan, sosial, ekonomi, kedaerahan, kenasionalan, segala sesuatu tentang manusia hingga kemanusiaan.
Maka tak heran jika kemudian segala sesuatu beliau tulis. Jejak-jejak kehidupan manusia mampu menjadi topik yang menarik untuk sebuah karya. Karya adalah bukti otentik dari hadirnya kebudayaan. Kang Ajip percaya, kebudayaan itu bukan sekadar gugur dalam ucapan, melainkan akan tersampaikan dengan jelas manakala dikemas dalam bentuk tulisan.
Melalui podcast Daras Buku Surat-surat Ti Jepang setidaknya kita bisa menelisik serpihan kronik yang sempat booming pada zamannya. Ceruk-ceruk pemikiran kang Ajip dapat sedikit ditelisik, karya-karyanya dapat dipertimbangkan dan ide revitalisasi serta visi revolusionernya dapat diadopsi di zaman sekarang. Semuanya itu dimulai dengan mengulas surat demi surat yang pernah ditulis.
Salah satu hal penting lain adalah, dari surat-surat yang terdokumentasikan tersebut kita dapat memotret perkembangan gaya menulis kang Ajip dari waktu ke waktu. Selain itu kita bisa membandingkan gaya menulis kang Ajip saat menulis surat, menulis sastra dan karya ilmiah. Dengan catatan, asalkan saja kita juga berusaha giat membaca karya-karya lain kang Ajip.
Ada harapan terselip, melalui daras buku ini akan ada ide brilian yang terpancang di benak khalayak penikmat sebagai bekal untuk menulis. Khusus bagi anggota SPK Tulungagung, semoga mampu memantik geliat literasi diri untuk kian subur. Poadcast ini semoga menjadi cambuk untuk senantiasa menempatkan diri dalam pusaran peradaban melalui kontribusi ide dan pemikiran.
Mantab Mas Roni. Jos. Lanjutkan
BalasHapusSiyyyappo Bah. Terimakasih sudah membaca dan meninggalkan jejak.
HapusKeren Kang! Saluuut!!!
BalasHapusHatur nuhun, teh. Parantos linggih, ngiring live streaming sareng ninggalan tapak dina ieu oret-oretan.
Hapus