Dokpri pamflet ucapan selamat menunaikan Ramadan SPK Tulungagung
Ada begitu banyak wajah teduh menyambut awal Ramadan di makro dan mikro kosmos. Dari sekian banyak wajah itu di antaranya: pertama, wajah alam begitu bahagia. Alam tidak begitu pandai menyembunyikan rona kebahagiaan menyambut dekapan bulan mulia yang penuh berkah. Bulan suci Ramadan yang dirindukan umat Islam di seluruh dunia kini telah tiba. Saking meluapnya kebahagiaan alam, kebahagiaan itu kita saksikan bersama dalam bentuk rintik hujan yang tiada putus.
Apa buktinya? Minggu (10/04/2024) adalah hari panjang dari titian setiap inci kebahagiaan itu dilimpahkan dan diekspresikan alam dengan begitu cakap. Kendati manusia tak pernah pandai menafsirkan (memahami; mencercap) kebahagiaan itu dengan baik. Alhasil, yang tersisa dalam benaknya hanya keluh kesah semerawut yang berjubel di mulut. Kian lama, hanya bicara soal emosi yang tersulut. Bukan syukur yang terpanjat, justru bibir mencucu dan wajah yang kian kusut. Semoga kita bukan bagian darinya. Amin.
Kedua, disambut harmoni kesunyian. Sudah menjadi rahasia umum, Ramadan tahun ini sangat spesial karena disambut gegap gempita perayaan Nyepi Tahun Baru Saka 1946. Senin (11/04/2024) saat saudara kita yang beragama Hindu sedang bertahanuts (bersemedi; menyepi) di rumah masing-masing dengan maksud merefleksi diri untuk mencapai kedamaian hati dan jiwa, maka begitu pun dengan umat Islam yang berusaha menyepikan diri dengan nyekar dan megengan.
Melalui tradisi nyekar sesungguhnya umat Islam sedang menjalin silaturahmi dan komunikasi batin dengan sanak famili yang telah berpulang mendahului kita. Hal itu di lakukan dengan ziarah kubur sembari melantunkan tawasul dan berdoa yang diakhiri dengan menaburkan rupa-rupa bunga (bahkan ada yang disertai air) sebagai bentuk tanda cinta-kasih yang tiada tersekat ruang dan waktu. Ada pengakuan nasabiyah yang tak lekang sepanjang detak nyawa. Kedamaian hati dan jiwa adalah hakikat yang hendak digapai dari sepanjang ritus yang dijalani.
Sedangkan lokus yang ditekankan dalam megengan (munggahan, orang Sunda menyebutkan) adalah menyepikan diri dari gebyar nikmat dunia yang kompleks dan terus ada. Melalui tradisi megengan, setiap orang berusaha sadar (qonaah, sabar dan ikhlas serta syukur) bahwa kenikmatan itu harus dibatasi. Dibatasi untuk bersikap introspektif dan inklusif terhadap limpahan nikmat.
Bersikap instrospektif terhadap nikmat berarti menimbang dan meninjau kembali seberapa jauh kita mensyukuri hidup yang sudah dijalani. Sudah tepatkah porsi dan proposional kandungan: gizi, vitamin, serat dan lainnya yang diminum-dimakan. Sesuai sunnah Nabi ataukah bersikap isrof dan tabdzir terhadap nikmat yang diberikan Tuhan dan lain sebagainya. Yang paling penting, pola konsumsi sehat yang ideal; sesuai dengan kebutuhan tubuh itu menjadi bahan pertimbangan utama.
Ada pun bersikap inklusif terhadap nikmat dapat dimaknai sebagai upaya uzlah sekaligus mengambil posisi sebagai kaum mustad'afin. Kalangan yang benar-benar membutuhkan kesediaan akan hal itu. Kita yang mungkin setiap waktu serba cukup akan asupan gizi melalui makan dan minum plus layanan kesehatan, berusaha merasakan dan menempatkan diri pada posisi orang yang fakir akan segalanya. Serba terbatas dan haus dalam segala hal.
Apa manfaat dari mengamalkan sikap keduanya? Meningkatkan kualitas, kuantitas dan manfaat atas hidup adalah anak tangga yang hendak dicapai. Semuanya itu akan terwujud dan terbentuk nyata tatkala digembleng dalam menunaikan puasa selama tiga puluh hari di bulan suci Ramadan 1445 H.
Tulungagung, 11 Maret 2024
Komentar
Posting Komentar