Langsung ke konten utama

Menulis Berbasis Pengalaman

(Dokpri flyer Ngaji Literasi Edisi ke-9)

Beberapa hari terakhir rasa-rasanya saya menjalani rutinitas tidak tenang karena dihantui perasaan yang "mengganjal". Perasaan ini saya kira timbul karena belakangan saya berusaha membuat catatan setelah atau sebelum perhelatan ngaji literasi. Sedangkan untuk catatan edisi ke-9 ini belum tertunaikan sama sekali.

Maka tak salah jika kemudian saya menerjemahkan rasa yang "mengganjal" itu sebagai bentuk utang. Utang karena saya belum membuat catatan perhelatan ngaji literasi edisi 9. Utang itu menjadi dua kali lipat manakala dihadapkan dengan momentum ngaji literasi edisi ke-10 yang tinggal menghitung jari. Meski begitu, izinkan saya untuk mencicilnya melalui tulisan ini.  

Ngaji literasi edisi 9 telah dihelat dengan fokus mendiskusikan buku Jejakku Menulis karya salah satu dosen muda di STAI MAS PPHM Ngunut Tulungagung. Ia adalah Mbak Filzatun Nafsi, S. Pd. I., M.  Pd. Ya, selain akademisi, ia adalah penulis. Tangan kreatifnya telah melahirkan 3 buku solo dan puluhan buku antologi.

Dalam ngaji literasi edisi 9 ini Mbak Filza (sapaan akrab Mbak Filzatun Nafsi) tampil sebagai narasumber perempuan ketiga setelah sebelumnya menampilkan dua perempuan hebat lainnya yang merupakan anggota SPK Tulungagung. Mungkin kita masih ingat siapa penulis buku The Puzzles of Life dan Teknik Menulis Akademik Asyik dan Menarik. 

Penampilan Mbak Filza menjadi penguat sekaligus sinyalmen bahwa program ngaji literasi sengaja dibentuk dengan sistem kerja yang sehat. Mengusung keseteraan gender dan kebebasan dalam mengekspresikan wacana keilmuan. Melalui ngaji literasi semua anggota SPK Tulungagung diberikan kesempatan yang sama untuk diseminasi karya: mendiskusikan, mempromosikan bahkan me-launching buku solo jika diperlukan. 

Kembali ke fokus. Buku Jejakku Menulis secara konten berisikan kumpulan refleksi pengalaman penulisnya. Mulai dari petuah-hikmah pembelajaran tatkala nyantri di Jombang, berkuliah di Malang sampai dengan berkenalan dengan sosok yang berpengaruh dalam hidup penulis tatkala tergabung dalam WhatsApp group (WAG) LP Ma'arif menulis. Ya, setelah menyabet juara lomba menulis dan berkenalan dengan Ayahanda Prof. Ngainun Naim, orientasi dan geliat literasi Mbak Filza semakin terpantik. Kreativitasnya semakin melejit.  

Blog pribadi ia hidupkan dengan postingan yang bertajuk reflektif. Setiap hari ia menulis. Proses kreatif menulis yang dilakoninya bak bercermin pada buku karya Omjay: Menulislah Setiap Hari dan Buktikan Apa yang Terjadi (2012). Setelah postingan di blog terkumpul banyak, penulis menghimpun dan mengedit tulisan demi tulisan. Setelah itu baru diajukan ke penerbit Madza. Madza sendiri merupakan penerbit minor-indie. 

Mbak Filza merasa bersyukur sekali karena tulisannya mampu menjadi buku. Meski di satu sisi ada pula segelintir orang yang memberikan komentar miring (negatif). Namun dengan positif thinking selentingan itu ia tepis dengan hati yang riang. Ia selalu yakin bahwa sesuatu yang besar selalu dimulai dari hal yang kecil dan sederhana. Ada keyakinan bahwa sekecil apa pun karya yang kita sodorkan kepada khalayak umum pasti akan ada kemaslahatan dan sisi manfaatnya. 

Hal penting yang harus dicatat adalah terus mencoba, berusaha dan berjuang semaksimal mungkin untuk menjadi lebih baik. Hanya dalam kerangka kerja yang demikian kualitas terbaik akan terbentuk secara natural. Biarkan benturan-benturan externalities itu menjadi bumbu-bumbu rahasia yang menjadikan kita sebagai penulis yang lebih peka, terbuka dan jauh lebih bijak dalam memberikan kontribusi. Yakinlah setiap tulisan itu memiliki penikmat (pembaca) tersendiri. Setiap tulisan memiliki takdirnya masing-masing. 

Pesan penting lainnya, adalah jangan biarkan selentingan yang berseliweran itu membuat kita sebagai penulis down. Simplifikasinya, jangan terlalu fokus pada komentar negatif dan menjadikannya sebagai beban. Namun jadikanlah komentar miring; negatif dan pedas itu sebagai amunisi terbaik untuk memberikan kontribusi gagasan yang lebih baik. Yakinlah, seiring dengan proses penempaan panjang kualitas karya kita akan jauh lebih baik.  

Harapannya, selain tiga Srikandi yang sudah tampil mendiseminasikan karya solonya semoga para perempuan anggota SPK Tulungagung lain turut mengikuti jejak mereka. Anggota yang belum memiliki buku solo sesegera mungkin merancang kelahirannya.

Begitu juga bagi anggota yang masih saja vakum; memilih menjadi silent reader semoga bertransformasi menjadi pribadi yang lebih aktif. Aktif dalam merawat geliat literasi dengan mentradisikan membaca, menulis dan terus berlatih membangun kepercayaan bahwa dirinya bisa. Hal itu diwujudkan dengan cara mempublikasikan karya ke ruang publik. Tak terkecuali membagikan tautan postingan tulisan ke dalam grup WhatsApp SPK Tulungagung.


Tulungagung, 01 Juli 2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam aktiv

Deskripsi dihari Wisuda

                   Acara wisuda II IAIN Tulungagung, akhirnya telah diselenggarakan pada hari kemarin, yang lebih tepatnya pada hari Sabtu, (05/9) pagi-siang. Tempat tamu yang telah tersedia dan tertata rapi pun akhirnya mulai dipadati oleh para calon wisudawan, wisudawati dan para tamu undangan.           Acara yang telah teragendakan jauh-jauh hari oleh kampus tersebut pun Alhamdulillah berjalan dengan baik dan khidmat, (husnudzon saya). Pasalnya hal yang demikian dapat dilihat, dipahami dan dicermati dari jalannya acara tersebut yang tidak molor (memerlukan banyak waktu).        Hari itu telah menjadi saksi bisu sejarah kehidupan (baik parsial/kolektif) yang menegaskan adanya sesuatu hal yang istimewa, penting dan berharga. Tentu saja semua itu dipandang dari framework umat manusia yang lumrah.           Gejolak rasa parsial pun pastinya tidaklah lepas dari pengaruh keadaan yang sedang terjadi. Namun nampaknya rasa bahagia pun menjadi dominan dalam menyelimuti diri. Hal

Memaksimalkan Fungsi Grup WhatsApp Literasi

(Gambar download dari Twitter) Ada banyak grup WhatsApp yang dapat kita ikuti, salah satunya adalah grup literasi. Grup literasi, ya nama grup yang saya kira mewakili siapa saja para penghuni di dalamnya. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bagi khalayak bahwa nama grup selalu merepresentasikan anggota yang terhimpun di dalamnya.  Kiranya konyol jika kemudian nama grup kontradiktif dengan anggota yang tergabung di dalamnya. Mengapa demikian? Sebab rumus yang berlaku di pasar legal per-WhatsApp-an adalah setiap orang bergabung menjadi group member selalu berdasarkan spesialisasi motif yang sama. Spesialisasi motif itu dapat diterjemahkan sebagai hobi, ketertarikan, kecenderungan dan lainnya. Sebagai contoh, grup WhatsApp jual beli mobil tentu akan memiliki nama grup yang berkorelasi dengan dunia mobil dan dihuni oleh anggota yang memiliki hobi atau pun ketertarikan yang satu suara. Tampaknya akan sangat lucu jika seseorang yang memiliki hobi memasak lantas yang diikuti secara update adal