Langsung ke konten utama

Di Balik Layar Menulis Buku


Judul Buku: Jalan Terjal Menulis Buku
Penulis: Sahabat Pena Kita Tulungagung
Penerbit: Sahabat Pena Kita
Tahun Terbit: 2021
Ketebalan Buku: 191 halaman
Harga: Rp. 50.000

Buku yang kita nikmati: baca, pelajari dan koleksi melintasi rentang waktu tidak hadir begitu saja alakadarnya. Kehadiran sebuah buku ke hadapan kita (para pembaca; pecinta) justru selalu terjadi atas dasar proses panjang latar belakang interaksi nilai. Dari das sein menjadi das solen; dari tabula rasa menjadi skripta manen. 

Embrio kelahiran sebuah buku lazimnya bermula dari kegelisahan intelektual yang kemudian dibenturkan dengan akumulasi simpul-simpul pengetahuan yang membuat resah jiwa seseorang yang bersangkutan. Rumusnya, semakin dipendam dan ditahan kegelisahan intelektual itu maka kian menuntut aksi untuk sesegera mungkin dituangkan. 

Satu proses yang tampak mudah dituliskan akan tetapi gampang-gampang susah dipraktekkan. Bagaimana tidak coba? Upaya transformasi ide menjadi sebuah tulisan yang dipersepsikan sempurna: mudah dipahami, logis dan terstruktur serta sistematis saja harus berkali-kali menaklukkan hambatan. 

Hambatan yang dimaksud di antaranya ialah mulai dari adanya proses distorsi maksud, reduksi kata, gangguan psikis hingga kondisi luaran yang tidak diharapkan sebelumnya. Itu semua berlaku dalam aktivitas menulis sekali jadi, terlebih lagi dalam proses menulis buku, dapat dipastikan memiliki hambatan yang dikategorikan luar biasa.

Hal yang demikian menunjukkan bahwa dalam proses kelahiran buku selalu terselip cerita menarik yang bersifat konstruktif dan subjektif. Cerita menarik yang menjadi bumbu rahasia dan alasan kuat mengapa sang penulis harus bahagia, merasa plong dan lega setelah menyelesaikan naskahnya. Kendati terkadang jalan kelahirannya terjal dan berliku. 

Dalam banyak kasus, kita kerap mendapati bumbu rahasia itu menjadi privasi penulis. Hal yang dipendam dan dinikmati secara pribadi. Menyikapi hal ini tampaknya khalayak ramai sepakat bahwa membicarakan bumbu rahasia di ruang publik adalah tabu. 

Dalam konteks menerjang status ketabuan membicarakan bumbu rahasia di ruang publik itulah buku Jalan Terjal Menulis Buku terbit. Uniknya, buku ini tidak semata-mata fokus menyajikan satu informasi yang sengaja diracik, buku antologi ini memuat ragam informasi yang bertumpu pada kekayaan pengalaman, perjuangan, dan motivasi subjektif dalam menulis buku yang terhimpun dalam 27 judul.

Himpunan cerita yang dikemas dalam buku ini kian ciamik dengan penggunaan bahasa reflektif yang melibatkan kesadaran--meminjam istilah Prof. Naim--bahwa keputusan menjadi seorang penulis linieritas dengan pengkategorian identitas diri sebagai makhluk langka. 

Melalui buku ini, secara eksplisit, pembaca akan diajak mengobservasi dapur mengolah resep bumbu yang menyertai proses panjang bagaimana seorang penulis berkarya dan bekerja. Meninjau bagaimana para penulis mengatasi batu sandungan yang mengitarinya: kegagalan, problematika internal dan kondisi eksternal, serta perumusan orientasi menulis hingga akhirnya geliat penanya mampu memanifestasikan diri sebagai sebuah karya.

Sebagai gambaran kecil, misalnya tulisan Aam Nurhasanah (kepala sekolah SMPS Mathla UI Hidayah Cipanas) dengan judul Buah Literasiku. Bercermin dari pengalaman subjektif, beliau memandang bahwa langkah efektif untuk mampu melahirkan buku solo kita harus terlebih dahulu terbiasa mengasah potensi menulis. Potensi itu diasah dan dilatih secara rutin dengan ikut andil dalam penerbitan buku antologi.

Hal itu perlu dilakukan mengingat menerbitkan buku antologi dipersepsikan lebih mudah dalam prosesnya. Lebih cepat penulisannya daripada buku solo. Keikutsertaan dalam menulis buku antologi ini akan banyak kita temukan tatkala kita bergabung dengan komunitas literasi yang memiliki visi-misi yang jelas, mengayomi dan visioner, (hlm. 1-5).

Lain halnya dengan bumbu rahasia yang disodorkan Ekka Zahra Puspita Dewi dalam tulisannya yang berjudul Seputar Menulis, Komunitas dan Outline Buku. Penulis buku The Puzzle of life ini berpandangan bahwa kelahiran sebuah buku dari seorang penulis mula-mula banyak dipengaruhi faktor eksternal. 

Faktor eksternal ini mencakup motivasi dan circle support. Motivasi eksternal akan dengan mudah kita dapatkan manakala kerap kali berpartisipasi aktif dalam seminar, pelatihan dan workshop kepenulisan atau jurnalistik. Sedangkan circle support dapat dituai manfaatnya manakala kita memutuskan diri bergabung menjadi bagian dari komunitas literasi. 

Dari kedua sumber itu tampaknya sudah cukup menjadi modal seseorang untuk mulai menginjakkan kaki pada tahapan penting dalam menulis sebuah buku. Poin penting tersebut yakni membuat outline karya. Outline karya bermakna konsep dasar dan kerangka karangan yang hendak kita tulis. 

Melalui outline karya inilah seorang penulis akan bekerja sembari menjaga koherensi di antara topik dengan sub tema. Sementara gayengnya dan istikamah dalam menyeimbangkan antara membaca dan menulis adalah resep rahasia dalam menjaga kualitas tulisan agar tetap berbobot dan bergizi, (hlm. 35-41).

Kedua contoh tersebut setidaknya akan memberikan informasi, inspirasi dan motivasi kepada khalayak pembaca tentang bagaimana proses panjang melahirkan buku. Tidak hanya skill yang harus diperhatikan dan ditingkatkan, melainkan banyak faktor lainnya yang perlu disiapkan sekaligus dikendalikan.

Kendati demikian, buku antologi ini bukan berarti kehadirannya: dari bentuk fisik dan konten sempurna tanpa cacat. Setelah diobservasi lebih lanjut, terdapat beberapa kekurangan yang melekat pada buku tersebut. Hemat saya, beberapa kekurangan tersebut terdapat dalam muatan konten. 

Pertama, terjadi kekeliruan penomoran halaman dalam daftar isi. Daftar isi yang terletak pada halaman x dituliskan berada pada halaman xi. Meski yang keliru satu angka tetap saja kekeliruan itu akan membuat pembaca sedikit mengernyitkan dahi, pertanda kurang nyaman. 

Kedua, ditemukannya kurang spasi antara titik di akhir kalimat dengan kata awal kalimat selanjutnya. Kekurang ini terdapat pada baris keenam, paragraf kedua, halaman 3. Lebih tepatnya pada tulisan Aam Nurhasanah dengan judul Buah Literasiku. 

Selain titik dan kata awal kalimat yang bergandengan, ada pula kata yang bergandengan. Misalnya pada baris kedua, paragraf kedua, halaman 7 dalam tulisan Ahmad Saifudin. Baris keempat dan keenam paragraf kedua, halaman lima belas dalam tulisan Alfin Arma. 

Ketiga, selain kurang spasi, ada pula kalimat yang kelebihan spasi. Misal pada baris kedua, paragraf satu, halaman keenam dan kesebelas dalam tulisan yang sama, Ahmad Saifudin. 

Keempat, pembaca juga akan dibuat terbelalak tatkala menemukan lembar yang kosong pada halaman nomor 103. Tentu ini akan jauh lebih efektif manakala konten yang termuat pada halaman selanjutnya, halaman 104, dialihkan ke lembar sebelumnya. 

Terakhir, sub tema yang diulas dalam buku antologi ini mungkin akan jauh lebih "greget" dan "menggigit" manakala penyajian konten dikategorikan secara tematik. Misalnya sub tema refleksi jalan terjal menulis buku antologi dipisahkan dengan pengalaman menulis buku solo. Ulasan pengalaman menulis buku solo dibedakan dengan sub tema refleksi mencita-citakan menulis buku yang belum terwujud. 

Meski begitu, format isi buku yang telah disetting sedikit rupa ini juga sangat cocok bagi pembaca yang doyan menggunakan teknik selecting atau skipping. Sementara bagi penulis dan pembaca pemula, buku ini dapat dibaca dengan menggunakan teknik skimming. 






Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Serba yang Kedua

(Dokpri: flyer ngaji literasi edisi 4) Hemat saya angka 2 menjadi angka istimewa dalam ngaji literasi edisi keempat yang akan datang ini. Tepatnya, 3 kali angka 2 yang istimewa. Kenapa harus angka 2? Bukankah masih banyak angka lain: 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya? Nah, jadi bikin penasaran kan? Pertama, angka 2 yang menegaskan bahwa di momen ngaji literasi edisi ini adalah kali kedua saya menjadi moderator setelah sebelumnya saya beserta Bang Almahry Reprepans bertukar posisi. Tentu saja, dua kali menjadi moderator dalam rangka membedah buku solo kawan-kawan anggota SPK Tulungagung, bagi saya, adalah satu kehormatan dan kesempatan yang luar biasa. Saya dapat belajar bagaimana cara berbicara di depan kamera dan public speaking. Selain itu, pada ngaji literasi edisi keempat ini menandaskan dua kali sudah saya menjadi moderator dalam membedah buku solo perdana sahabat Ekka Zahra Puspita Dewi setelah sebelumnya dipertemukan dalam acara bedah yang diusung oleh komunitas Lentera. ...