Langsung ke konten utama

Pentingnya Menjaga Akhlak Bermedia Sosial di era teknologi yang semakin pesat (Antara Ironi, Fakta dan Harapan)

Kehilangan ruang privasi di zaman yang serba canggih dan eksis ini adalah wujud keironisan daripada chaos-nya kehidupan nyata. Sebutkan saja seperti ketidakmampuan menerima rupawan, sosial ekonomi masyarakat yang timpang, pendidikan yang timpang dan masalah kesehatan serta kriminalitas.

Sebagai akibatnya, banyak orang yang memilih memindahkan segala bentuk aktivitasnya ke media sosial. Gerak sedikit cekrek, lalu unggah. Sialnya, hal itu berbanding lurus dengan konsepsi kemerdekaan yang tak mengenal batas. Apa-apa serba diunggah, meskipun itu kadang kala melanggar kode etik, norma sosial di masyarakat dan lain sebagainya.

Ambil saja contohnya, kita kerap kali melihat fake account (akun bodong) yang dengan sengaja menyuguhkan berbagai macam jenis hoaks, gambar senonoh dan video yang tidak semestinya dipertontonkan. Bahkan tidak jarang, tendensi yang justru memenuhi status media sosial itu lebih mengutamakan jumlah viewer daripada bobot dan dampak yang akan dituai oleh khalayak. 

Terlebih jika mengingat, viewer dan netizen dalam bermedia sosial di era ini tidak berbatas usia. Duduk masalah pun kian kompleks, tatkala kita melihat fakta di masa pandemi bahwa media sosial kini menjadi rumah utama bagi kalangan pelajar. Tak terhitung berapa banyak jumlah hilir mudik tugas pembelajaran yang berbasis media sosial. 

Seiring dengan hilir mudik pengalihan tugas pembelajaran yang berbasis media sosial itu, ada beberapa tanda yang jelas-jelas tertangkap basah secara kasat mata. Pertama, presentase penggunaan dan ketergantungan masing-masing kita terhadap gadget kian intim. Siang, sore, malam bahkan sampai-sampai kita sendiri tak mengenal kapan waktu yang tepat untuk berselancar di dunia Maya.

Kedua, penggunaan paket data kian meningkat. Hadirnya tugas via daring juga turut mempengaruhi tersedianya kuota data yang dimiliki oleh masing-masing kita. Kadang kala kita merasa kelabakan manakala di tengah-tengah pengerjaan tugas kuota data kehabisan. 

Ketiga, beralihnya kuota data dan WiFi sebagai kebutuhan primer. Jika dahulu sebelum masa pandemi, kuota data WiFi statusnya masih tergolong sebagai kebutuhan tersier, maka statusnya sekarang sudah menjadi kebutuhan sekunder, bahkan di waktu-waktu tertentu--yang bersifat mendesak dan genting--menduduki posisi sebagai kebutuhan mendasar, primer. 

Keempat, pemasangan WiFi di rumah semakin menjadi primadona. Yang memiliki perhitungan matematika dan manajemen keuangan yang baik, umumnya akan memilih memasang WiFi di rumah daripada harus seminggu sekali memborong paket data. Hal itu terjadi karena dalam perhitungan mereka, selisih harga yang harus dibayarkan berbeda jauh. Ada efisensi harga dan kemanfaatan yang harus diperhatikan. 

Kelima, penjualan smartphone Android kian membabi-buta. Tidak hanya penjualan kuota data dan pemasangan WiFi yang marak diserbu oleh pelanggan, pada kenyataannya lapak-lapak penjajak smartphone juga turut merup untung yang besar. Terlebih, memiliki gadget secara mandiri lebih cenderung membuat orang tua merasa aman akan keberlangsungan pembelajaran sang anak.

Saking pentingnya memiliki smartphone untuk mendukung proses pembelajaran, mungkin kita masih ingat dengan rentetan kasus kriminalitas tentang pencurian hp yang belakangan kian memadati headline pemberitaan. Ada konsepsi, banting tulang mencari uang bukan lagi untuk sesuap nasi, melainkan karena rengekan anak yang ingin dibelikan handphone. Ketidakmampuan menyeimbangkan antara kebutuhan yang bersifat mendesak dan penghasilan yang sangat minim itulah yang memberanikan diri seseorang untuk menggunakan cara pintas, meski pun melanggar hukum.

Mirisnya, tatkala semua kebutuhan akan media pembelajaran sudah terpenuhi, umumnya orang dewasa (orang tua dan keluarga lainnya) acap kali lepas tangan dan seolah-olah tidak mau tahu. Di satu pihak, mereka sedang mempraktikan arti dari kepercayaan dan kemandirian tentang merdeka belajar, sementara di lain sisi mereka sedang menjerumuskan aset masa depan. 

Kenapa disebut menjerumuskan aset masa depan? Sebab, menggunakan gadget tanpa bimbingan dan pengawasanb jadi salah kaprah. Maka sudah seharusnya kemerdekaan dalam belajar itu tetap berjalan di bawah pengawasan dan pengendalian dari orang dewasa. Jika tidak demikian, maka hilanglah sudah tujuan utama. Jangan biarkan mereka (anak-anak kita) terjebur dan terlena memindahkan identitas dirinya dengan berselancar di dunia Maya secara kebablasan. Dan itu, adalah PR besar bagi kita semua 

Harapan ke depannya tentu, setiap generasi milenial seharunya lebih bijak lagi dalam menggunakan media sosial. Gunakanlah setiap media sosial yang ada sebagai sarana memperbaiki diri, meningkatkan kualitas dan wawasan pengetahuan yang kita miliki.

Tidak ketinggalan juga, gunakanlah semua piranti tersebut untuk mencari jejaring relasi (teman) agar kita mampu memberikan kontribusi melalui sharing pengalaman dan wawasan. Dan yang paling penting daripada itu semua adalah berusaha bermedia sosial dan menjaga relasi tersebut di atas kode etik dan akhlak. 

Baik itu akhlak dalam konteks (give, take dan share) berupa tulisan, gambar atau pun video tertentu yang kita unggah. Usahakan semua itu dilakukan berdasarkan kenuranian dan keramahan dalam bermedia sosial. Sekali lagi, bermedia sosial lah dengan bijak! Bukan bermedia sosial hanya semata-mata karena nafsu syahwat dan menghabiskan waktu dengan menatap semua hal yang tak memberikan kemanfaatan. Terlebih-lebih, apa yang kita baca, tonton dan diikuti akan banyak mempengaruhi cara berpikir dan bertindak.

***

Ohya, ide tulisan ini sebenarnya telah lama tertimbun di app note handphone saya, lantas kemudian diolah dan dikembangkan kembali. Dahulu, persoalan ini sempat diangkat dalam tantangan menulis dengan durasi waktu lima menit pada seleksi calon penanggung jawab (PJ) KMOI. 


Tulungagung, 2 September 2021


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Serba yang Kedua

(Dokpri: flyer ngaji literasi edisi 4) Hemat saya angka 2 menjadi angka istimewa dalam ngaji literasi edisi keempat yang akan datang ini. Tepatnya, 3 kali angka 2 yang istimewa. Kenapa harus angka 2? Bukankah masih banyak angka lain: 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya? Nah, jadi bikin penasaran kan? Pertama, angka 2 yang menegaskan bahwa di momen ngaji literasi edisi ini adalah kali kedua saya menjadi moderator setelah sebelumnya saya beserta Bang Almahry Reprepans bertukar posisi. Tentu saja, dua kali menjadi moderator dalam rangka membedah buku solo kawan-kawan anggota SPK Tulungagung, bagi saya, adalah satu kehormatan dan kesempatan yang luar biasa. Saya dapat belajar bagaimana cara berbicara di depan kamera dan public speaking. Selain itu, pada ngaji literasi edisi keempat ini menandaskan dua kali sudah saya menjadi moderator dalam membedah buku solo perdana sahabat Ekka Zahra Puspita Dewi setelah sebelumnya dipertemukan dalam acara bedah yang diusung oleh komunitas Lentera. ...