Langsung ke konten utama

Syukur di Balik Kerapuhan Rasa dan Psikis di Hari Raya (Bagian 4)

Alur tulisan ini bersambung dengan unggahan sebelumnya. Sebelum membaca pastikan Anda sudah membaca episode sebelumnya:

Bagian 2: https://www.kompasiana.com/manganwar/60c771fdd541df1aa63dcfd3/syukur-di-balik-kerapuhan-rasa-dan-psikis-di-hari-raya

Bagian 3: https://www.kompasiana.com/manganwar/60c7e6168ede483d3e43bad2/syukur-di-balik-kerapuhan-rasa-dan-psikis-di-hari-raya

Stigma dan stereotip yang berpangkal tajassus

Sementara pola yang terakhir, yakni stigma dan stereotip yang berpangkal tajassus telah menjadi bumbu penyedap rasa dalam silaturrahim pasca lebaran. 

Stigma dalam konteks ini bukan semata-mata bermakna tanda atau ciri negatif yang menempel pada pribadi tertentu  karena pengaruh lingkungannya melainkan justru citra negatif itu ada dalam diri seseorang karena pelabelan melalui tanda atau ciri yang kian masif digencarkan secara personal yang diamini khalayak ramai. Artinya, di sana ada proses pembentukan hingga akhirnya pelabelan itu menjelma menjadi kenyataan. 

Mirisnya, cara kerja stigma dalam memandang seseorang itu juga kerap disertai dengan stereotip. Konsepsi mengenai sifat suatu golongan tertentu berdasarkan prasangka yang bersifat subjektif dan tidak tepat. Bisa jadi, konsepsi mengenai sifat suatu golongan tertentu itu sengaja dimunculkan karena adanya motif dan kepentingan tertentu yang hendak dicapai. 

Sebutkanlah salah satu tujuan daripada stigma dan stereotip terhadap seseorang itu adalah tajassus. Tajassus sendiri bermakna mencari-cari (mengorek-ngorek) informasi tentang celah, borok, kelemahan ataupun kekurangan yang melekat pada pribadi seseorang. 

Sadar ataupun tidak, silaturrahim pasca lebaran Idulfitri pada kenyataannya juga kerapkali menyelinapkan berondong pertanyaan tajassus untuk setiap orang yang kita temui dari satu rumah ke rumah yang lain. Tanpa pandang bulu, kepada siapapun dan berapapun usianya itu seakan-akan kita punya kesempatan untuk membangun keakraban dengan melontarkan butiran pertanyaan.

Hal itu menunjukkan, bahwa secara mendasar sebenarnya tidak ada masalah jika kita mengajukan pertanyaan kepada orang lain tatkala sedang silaturrahim. Namun, masalah itu timbul tatkala kita mau meninjau sejauh mana kontekstual butir pertanyaan itu dilontarkan. Serta pertanyaan itu dilontarkan kepada subjek yang tepat atau bukan.

Artinya, isian, bobot dan target pertanyaan itu harus benar-benar diperhatikan dan dipertimbangkan secara matang. Apakah pertanyaan itu mengandung sarkastik atau tidak, mengandung stigma atau tidak, mengandung stereotip atau tidak serta kecondongan negatif lain yang dapat mengakibatkan seseorang yang ditanya merasa risih, terhina dan sakit hati karenanya. Dan yang demikian itu bisa saja terjadi tanpa disadari sebelumnya.

Bersambung...

Silakan simak kelanjutannya di akun Kompasiana Manganwar. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Serba yang Kedua

(Dokpri: flyer ngaji literasi edisi 4) Hemat saya angka 2 menjadi angka istimewa dalam ngaji literasi edisi keempat yang akan datang ini. Tepatnya, 3 kali angka 2 yang istimewa. Kenapa harus angka 2? Bukankah masih banyak angka lain: 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya? Nah, jadi bikin penasaran kan? Pertama, angka 2 yang menegaskan bahwa di momen ngaji literasi edisi ini adalah kali kedua saya menjadi moderator setelah sebelumnya saya beserta Bang Almahry Reprepans bertukar posisi. Tentu saja, dua kali menjadi moderator dalam rangka membedah buku solo kawan-kawan anggota SPK Tulungagung, bagi saya, adalah satu kehormatan dan kesempatan yang luar biasa. Saya dapat belajar bagaimana cara berbicara di depan kamera dan public speaking. Selain itu, pada ngaji literasi edisi keempat ini menandaskan dua kali sudah saya menjadi moderator dalam membedah buku solo perdana sahabat Ekka Zahra Puspita Dewi setelah sebelumnya dipertemukan dalam acara bedah yang diusung oleh komunitas Lentera. ...