Langsung ke konten utama

Refleksi Atas Pembacaan Buku Isteriku Seribu


Memahami Kembali Poligami
Memerlukan nafas panjang untuk menghatamkan satu sub judul yang disuguhkan. Hampir tidak ada celah untuk mengongak kanan-kiri, ataupun sekadar mengecam kopi hitam panas untuk menjernihkan alur berpikir. Tak ada waktu barang sedetik untuk menyumat rokok, meskipun rokok yang disumat itu milik tetangga. (Tahu sendiri, saya bukan perokok). Bahkan jikalau hujan turun, nampaknya tidak akan sempat terpedulikan. Apalagi menyempatkan diri memesan nasi bungkus di pak Iswan yang letaknya di pinggir jalan. Menawan mata, menjerat rahang untuk merekatkan antara dua sisi gigi atas dan bawah. Hampir, setiap paragraph demi paragraph terdapat durasi panjang yang kian mencekam. Begitu alot tatkala dikunyah dengan penuh keterpaksaan, terlebih-lebih untuk membenarkan bahwa pembaca sedang larut dalam penghayatan mendalam mengenai maksud yang hendak disampaikan. Seolah-olah dengan sengaja pembaca ditersesatkan dalam keterputusasaan akan makna sejati yang disuguhkan.
Filosofis, tasawuf dan analisis sosial. Ya, begitulah cara Cak Nun hendak mendekonstruksi pola pikir yang telah mengerak akut dan berlabel stigmatif tatkala mewacanakan “Poligami”. Namun kepelikan persoalan itu sejatinya, hanyalah cara pandang yang terbingkai dalam pemahaman. Pemahaman yang lambat laun menjadi kebudayaan. Pemahaman yang khalayaknya terus-menrus dan melulu ditunggangi sebangsa nafsu yang berjenis kelamin kelaki-lakian. Gemar mengambing hitamkan dalil-dalil yang disakralkan demi melumat habis identitas seumat keperawanan. Itupun, tanpa mempertimbangkan historis, misi kemanusian dan semangat zaman yang menjadi acuan. Yang tersisa hanyalah kekeliruan dan kesalahpahaman yang menjadikan diri begitu sulit untuk dibedakan antara manusia modern yang telah tercerahkan melalui peradaban pengetahuan dengan labelitas barbarian. Hal itu terdeskripsikan kuat dalam percakapan yang sejatinya sangat singkat, sesingkat sowannya Cak Nun pada Kyai Sudrun, hingga akhirnya beliau berdua harus sedikit terjebak dalam perdebatan runyam. Dan sebagai bonusnya wajah Cak Nun bermandikan ludah Kyai Sudrun sebagai bingkisan.
Namun proses itu teranalogikan pintu ajaib Doraemon. Dipandang anugerah dan kenikmatan yang memang benar-benar harus disyukuri dan dinikmati secara perlahan. Sebab itu adalah jalan untuk mencapai pintu keberkahan. Dipandang sebagai maqamat untuk mencapai keridhoan. Sekaligus mencapai essensi dari problematika yang sedang dihadapi.  Hal inilah yang kemudian diproyeksikan pada persoalan “Poligami”. Meskpiun secara tidak langsung untuk mencapai sisi terangnya, Cak Nun seolah-olah menghendaki perkenalan terlebih dahulu dengan dekonstruksi wacana gender menurut Asghor Ali Enigeer. Sekaligus berseru untuk membuka kembali tafsiran al-Qur’an versi kesetaraan gender karya Nasarudin Umar.
Sama sekali tidak ada yang salah dengan surat an-Nisa ayat ketiga. Namun yang menjadikannya sedikit kontroversial adalah bentuk penafsirannya. Kebudayaan patriarchal mengakar kuat sebagai paradigma pendeskripsiannya. Sehingga menjadi sangat dimungkinkan untuk menafsirkannya dengan sisi yang picang dan hasrat penuh atas nama kelaki-lakian. Alih-alih mengentaskan diri mengikuti sunnah Rosul. Namun sejatinya, tidak mengetahui historitas dan misi kemanusiaan yang telah dicontohkan oleh Rosul. Semangat zamannya terkadang pupus dengan banalitas pemahamannya. Bahkan jika ditelusuri ulang, nikahnya Rosul adalah sebagai bentuk misi memanusiakan manusia. Bukan malah sebaliknya, mengeksploitasi sisi bebas kemanusiaannya atau mendeskreditkan statusnya sebagai objek opresi habis-habisan kaum lelaki. Seolah-oleh zaman telah menakdirkan nikah berjenis kelamin laki-laki. Padahal di dalamnya telah terjadinya transaksi yang berlandaskan dua orang yang telah bersepakat saling mencintai. Bukan satu pihak.
Semua kontroversial mengenai itu sejatinya menurut Cak Nun akan dengan mudah terpahami, asalkan paham betul dengan maksud terdalam kalimah basmalah. Utamanya dalam menfasirkan kalimah  ar-Rahman dan ar-Rahim yang diaktualisasikan dalam konteks sosial semangat zamannya. Dengan pemahaman ar-Rahman inilah Rosul menjadikan umat seluruh alam sebagai isteri-isterinya. Isteri yang langgeng terhujani oleh ketidakluputan dari kasih sayang dan cinta di setiap waktu sekaligus rengkuhan zaman. Tidak berbatas usia, kondisi fisik, harta dan jabatan apapun. Semuanya adalah keluarga yang harus dijenguk dan diramahi. Dalam ranah kehidupan sosial inilah nabi beristeri beribu-ribu, bahkan tidak terhingga. Sebab limpahan Rahman Allah adalah anugerah tertinggi yang tdiak boleh tersia-siakan begitu saja.
 Sementara ar-Rahim hanya berlaku bagi para perempuan istimewa pilihan. Pilihan dalam artian akan memiliki kontribusi penting dalam peran dakwahnya Rosul terhadap islam. Sehingga menikahinya adalah misi penting kemanusiaan. Memanusiakan manusia dengan penuh semangat memerdekaan. Memberi kenyaman sosial, mencukupi kebutuhan financial dan menyegerkan dahaga jiwa yang kering kerontang. Dapat dikatakan, nikahnya Rosul bukan semata-mata karena status keperawanan perempuan. Bukan pula untuk melanggengkan budaya patriarki pada zamannya, melainkan sebagai obat dahaga untuk terus menyuburkan keringnya iman dan ketakwaan. Bahkan dalam berinteraksinyapun (bergaul) penuh dengan keharmonisan dan keromantisan. Layaknya Rahim-Nya Tuhan yang diberikan kepada umat pilihan. Ya, begitulah kurang lebih buku tipis berbobot satu ton karya Emha Ainun Nadjib yang berjudul “Isteriku Seribu” memaparkan.  


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Serba yang Kedua

(Dokpri: flyer ngaji literasi edisi 4) Hemat saya angka 2 menjadi angka istimewa dalam ngaji literasi edisi keempat yang akan datang ini. Tepatnya, 3 kali angka 2 yang istimewa. Kenapa harus angka 2? Bukankah masih banyak angka lain: 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya? Nah, jadi bikin penasaran kan? Pertama, angka 2 yang menegaskan bahwa di momen ngaji literasi edisi ini adalah kali kedua saya menjadi moderator setelah sebelumnya saya beserta Bang Almahry Reprepans bertukar posisi. Tentu saja, dua kali menjadi moderator dalam rangka membedah buku solo kawan-kawan anggota SPK Tulungagung, bagi saya, adalah satu kehormatan dan kesempatan yang luar biasa. Saya dapat belajar bagaimana cara berbicara di depan kamera dan public speaking. Selain itu, pada ngaji literasi edisi keempat ini menandaskan dua kali sudah saya menjadi moderator dalam membedah buku solo perdana sahabat Ekka Zahra Puspita Dewi setelah sebelumnya dipertemukan dalam acara bedah yang diusung oleh komunitas Lentera. ...