Langsung ke konten utama

Book Review


Aktivitas Weekend
By Dewar Al-hafiz
Dua hari weekend kemarin telah saya habiskan berbincang hangat dengan Boy Candra. Salah seorang penulis yang kemungkinan besar sudah tidak asing lagi menggema di telinga anda. Meskipun demikian, tapi inilah kali pertama saya berkenalan dengannya. Itupun bukan bertatap langsung di atas sofa yang berlatarkan senja merona, yang dilengkapi secangkir kopi hitam penjaga mata. Melainkan, menakar rentang janji dalam deret buah penanya. Nampaknya tidak perlu juga sekonyong-konyong saya menyebutkan “Sebuah Usaha Melupakan” adalah judul bukunya.  Eh, Keceplosan.
Rupa buah penanya begitu asyik. Tiga ratus lima halaman sudah menjadikannya layak disebut buku. Buku yang akan terlumat habis dalam sekali duduk bagi para predator. Berbeda halnya dengan saya, yang membutuhkan dua hari untuk menghatamkannya. (Dasar lamban!!!). Terlebih lagi, jika mengingat bahwa jenis buku tersebut berjentre non fiksi. Mungkin akan lebih tepatnya mirip seperti catatan diary. Hal yang demikian itu dapat ditilik dan diulik dari beberapa ciri khas yang melekat disodorkannya.
Pertama,  gaya bentuk penulisannya. Hampir di setiap sub topik penulis menyuguhkan alur cerita yang dikemas dalam bentuk empat paragraf. Tidak lebih ataupun kurang. Semuanya genap dalam alinea empat paragraf yang konsisten. Bentuk penulisan khas, yang tidak akan ditemukan dalam karakter tulisan lain. Inilah keunikan pertama. Setidaknya gaya ini tidak mudah membuat jenuh dan cepat lelah para pembaca. Asyik bukan? utamanya bagi pemula seperti saya.
Kedua, setiap pungkasan cerita dalam setiap sub topik selalu diakhiri dengan pencantuman nama penulis, tanggal, bulan dan tahun. Hal ini menandakan bahwa buku tersebut memang ‘bunga rampai’ dari catatan diary sang penulis. Meskipun dalam penataannya, tidak berurutan. Namun, makna dan kesan yang hendak disampaikan penulis tetap dalam koridor rel (pembahasan) yang sama.
Ketiga, gaya bahasa yang ditampilkan. Karakter bahasa yang digunakan dalam buku tersebut lebih cenderung berupa tuturan sehari-hari yang bercorak sastra. Bahkan di satu sisi merepresentasikan gaya puisi. Setiap rangkai kalimat tidak pernah lebih dari dua puluh kata. Namun setiap paragraf seakan-akan mejadi hidup dengan adanya rasa. Menyentuh kalbu.
Keempat, buku tersebut berisikan pengalaman gejolak rasa penulis. Perjuangan mencari cinta sang penulis. Tanpa malu-malu dan menyingsingkan rasa gengsi yang tinggi apa kata orang. Sikap yang tampil berani beda, menjadi daya tarik tersendiri. Penulis begitu lihai menuangkan setiap gubahan rasa yang didapatkannya tatkala cinta menghampiri. Penghayatan mendalam tentang situasi yang dialami penulis berusaha dideskripsikan dengan kata-kata bernyawa. Sehingga menarik jiwa-jiwa pembaca larut dalam suka duka yang dialami penulis. Di satu sisi sang penulis pribadi menyadari, bahwa tidak semua gejolak rasa dapat diekspresikan serta merta dalam ucapan, melainkan akan jauh lebih abadi dalam wujud tulisan. Mungkin pula menjadi bahan pelajaran hidup.
Selain sebagai salah satu sarana hiburan atas kepenatan. pembacaan atas buku ini setidaknya dapat memberi spirit literasi yang dapat diambil dan dipraktekan dalam kontinuitas kehidupan. Salah satu di antaranya ialah dapat mengubah cara pandang kita tentang menulis. Sang penulis secara implisit hendak menegaskan bahwa menulis tidak selalu terikat dengan sistem yang rumit. Peraturan ilmiah yang njlimet. Meskipun dalam hal tertentu memang harus terikat dengan kaidah-kaidah yang demikian. Namun yang lebih penting dari segalanya, mulailah menulis dari hal yang sederhana. Seperti halnya menuliskan kesan dan pesan aktivitas keseharian kita. Tidak usah risau perihal urusan bahasa, biarkanlah ia hadir mengalir apa adanya. Toh, nantinya juga akan mudah beradaptasi, jikalau telah terbiasa dan menjadi budaya.    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Serba yang Kedua

(Dokpri: flyer ngaji literasi edisi 4) Hemat saya angka 2 menjadi angka istimewa dalam ngaji literasi edisi keempat yang akan datang ini. Tepatnya, 3 kali angka 2 yang istimewa. Kenapa harus angka 2? Bukankah masih banyak angka lain: 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya? Nah, jadi bikin penasaran kan? Pertama, angka 2 yang menegaskan bahwa di momen ngaji literasi edisi ini adalah kali kedua saya menjadi moderator setelah sebelumnya saya beserta Bang Almahry Reprepans bertukar posisi. Tentu saja, dua kali menjadi moderator dalam rangka membedah buku solo kawan-kawan anggota SPK Tulungagung, bagi saya, adalah satu kehormatan dan kesempatan yang luar biasa. Saya dapat belajar bagaimana cara berbicara di depan kamera dan public speaking. Selain itu, pada ngaji literasi edisi keempat ini menandaskan dua kali sudah saya menjadi moderator dalam membedah buku solo perdana sahabat Ekka Zahra Puspita Dewi setelah sebelumnya dipertemukan dalam acara bedah yang diusung oleh komunitas Lentera. ...