Langsung ke konten utama

Edisi Refleksi Novel

Pembacaan Singkat Atas Novel Cantik Itu Luka

Tergopoh-gopoh saya menelusuri jejak karya pena Eka Kurniawan (berikutnya disebut: penulis), “Cantik Itu Luka”. Sang novelis ulung dengan serangkaian kata-kata gila luar biadab. Istilah klop teruntuk novelnya yang teramat keren. Mulanya saya dibuat terkejut dengan sodoran babak cerita yang begitu terasa ujug-ujug. Namun, hal itu justru menjadi sambutan hangat untuk memasuki racikan cakrawala kisah yang sangat picik. Menjebak pembaca jatuh pada rasa penasaran. Menghardik kelatahan mulut pembaca untuk tidak sampai melewatkan setiap patahan kata yang tertuang. Baik koma ataupun titik. Nampaknya, sang penulis ingin menyadarkan pembaca untuk menjadi kutu buku sejati. Sepertinya  syair-syair Rumi telah  merasuk sebagai pengingat, bahwa perjuangan membaca dan menulis kita selama belajar jangan disia-siakan kusam karena tertimbun hasrat main gadget. Ah, sialan. Begitu cerdik penulis mengisyafkan pembaca.
Kepicikannya kian menjadi sempurna tatkala penulis merangkai kata demi kata menjadi prasa yang idah, menjadi klausa yang sangat bergejolak, menyingsing batas-batas ketabuan yang selalu dihindari oleh para penulis pada umumnya. Hampir tanpa sekat penulis merajut kalimat untuk alur cerita yang memancing simpatisan. Berlagak orang tua yang sedang membimbing dan mengajari anaknya berjalan. Bahkan mengajarinya membaca secara teliti dengan sedikit nada bijak sembari berujar,”dunia kata tetaplah dunia ide. Dunia bahasa yang memiliki distingsi dengan realita. Tak perlu membacanya dengan penuh nafsu, termasuk birahi pula”. Nampak jelas, sang penulis lebih suka membuat alur cerita yang sedikit berjenis kelamin. Seolah penulis mengabaikan kehadiran gagasan besar Roland Barthes dan  permainan bahasa yang digagasan  Ludwig Wittgenstein. Namun itu, adalah pilihannya.   
 Pendeskripsikan peran dan perwatakan tokoh secara dadakan sedimikian matang. Layaknya tahu bulat yang digoreng dadakan dan siap disantap. Belum lagi dibumbui dengan akhir peran yang tidak dapat diterka-terka secara merata. Terlebih lagi, plot kisah tersebut berjentre maju-mundur cantik. Hampir lebih gemulai dibanding Syahrini mempraktekannya dengan penuh kecentilan dan keglamourannya. Bak seolah sedang menjajakan produk baru yang begitu lezat dan disukai setiap orang. Penulis dengan sarkas menyeret jiwa-jiwa pembaca dalam diskursus yang seakan-akan happy ending. Namun, pada akhirnya  pembaca akan terjerembab dalam topeng peran ala Erving Goffman. Hampir mirip dengan sikap khas cara ber-ethok-ethok orang jawa yang dikemukakan oleh Franz Magnis Suseno dalam karyanya “Etika Jawa Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksaan Hidup Jawa”.  
Selain itu, ide gila penulis menjadi sangat hidup, tatkala setting kisah mengambil hiruk-pikuk sejarah kolonialisme di tanah Nusantara sampai pada era revolusi- reformasi. Sehingga bukan lagi menjadi sesuatu hal yang heran, apabila pembaca acap kali dipertontonkan analogi silang budaya dalam setiap alur cerita yang suguhkan. Tidak hanya sekadar silang budaya  nusa jawa yang berusaha menengok kembali batas-batas pembaratan, jaringan Asia atau bahkan warisan masa-masa kegemilangan kerajaan yang secara gamblang dikupas habis dalam tiga seri babon karya Denys Lombard. Melainkan pula menunjukan identitas baru masa kolonialisme-postkolonialisme yang dalam pandangan Ania Lomba disebut sebagai bentuk hibriditas.
Bentuk hibriditas yang digadang-gadang memiliki proyeksi keistimewaan tersebut dilekatkan pada karakteritik peran yang dimainkan setiap tokoh. Dewi Ayu misalnya. Sebagai seorang pemeran utama yang memiliki nasab pribumi-Belanda. Perwatakannya sangat begitu angkuh dan keraskepala, seakan-akan ia telah mewarisi sikap dan mentalitas superior warisan kolonial. Namun, dibalik superioritas tersebut, terkadang ia juga mewarisi jiwa-jiwa inferioritas Mak Iyang sang nenek, pribumi. Meskipun demikian, identitas perawakannya menunjukkan harta karun ideal yang sangat diidam-idamkan banyak orang tanpa batas. Utamanya selalu membuat pesimis para istri setiap orang tatkala malam menjelang. Terlebih-lebih semua pria tergila-gila padanya. Hampir saja, sang penulis telah menakdirkan Dewi Ayu sebagai tangan kanan gagasan sosialis Karl Marx yang sesungguhnya. Meskipun Kamerad Kliwon (menantunya), pemeran Komunis sejati yang setia pada gagasan besar Karl Marx. Tidak hanya mendarah daging pada Dewi Ayu, proses hibriditas tersebut menurun akut pula pada ketiga anak yang dikatakan persis bidadari.
Ah sayang, pergumulan waktu dan keangkuhan zaman yang dicitrakan penulis begitu silam. Sehingga terlalu banyak pertumpahan darah yang bercecer karena propaganda gejolak cinta. Namun yang lebih sangat disayangkan adalah lelaki  malang yang tak pernah mampu mengungkapkan efouria cinta kepada salah seorang bidadari Halimunda itu. Dan itu saya. Dasar lelaki yang malang!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Serba yang Kedua

(Dokpri: flyer ngaji literasi edisi 4) Hemat saya angka 2 menjadi angka istimewa dalam ngaji literasi edisi keempat yang akan datang ini. Tepatnya, 3 kali angka 2 yang istimewa. Kenapa harus angka 2? Bukankah masih banyak angka lain: 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya? Nah, jadi bikin penasaran kan? Pertama, angka 2 yang menegaskan bahwa di momen ngaji literasi edisi ini adalah kali kedua saya menjadi moderator setelah sebelumnya saya beserta Bang Almahry Reprepans bertukar posisi. Tentu saja, dua kali menjadi moderator dalam rangka membedah buku solo kawan-kawan anggota SPK Tulungagung, bagi saya, adalah satu kehormatan dan kesempatan yang luar biasa. Saya dapat belajar bagaimana cara berbicara di depan kamera dan public speaking. Selain itu, pada ngaji literasi edisi keempat ini menandaskan dua kali sudah saya menjadi moderator dalam membedah buku solo perdana sahabat Ekka Zahra Puspita Dewi setelah sebelumnya dipertemukan dalam acara bedah yang diusung oleh komunitas Lentera. ...