Langsung ke konten utama

Refleksi


Aku, Antalogi dan Membaca

Kurang lebih dua pekan yang lalu, salah seorang teman akrab singgah di kos saya. Kos yang rupanya hampir sulit dibedakan dengan asrama putra yang biasanya disebut kobong (istilah bahasa sunda menyebutkan). Kamar panjang tanpa sekat, yang dijejali dengan deret lemari-lemari minimalis yang terbuat dari kayu dan triplek. Itupun tidak setiap lemari berisi pakaian, melain buku bacaan. Bahkan ada yang nampak lebih parah lagi. Buku  tertata rapih di dalam lemari, sementara pakaian bergelantungan di mana-mana. Belum lagi di bagian sela-sela deret lemari tersebut, terdapat rak yang dipenuhi buku yang wujudnya acakadut. Tidak tertata rapih. Dan kebetulan buku milik saya, berada tepat di bawah meja. Begitulah dua-tiga orang mendeskripsikan kamar kos saya. Amburadul memang. Namun, bukan itu yang hendak saya curhatkan. Melainkan mengenai perbincangan hangat kami (saya dan teman akrab) yang hilir-mudik kemana-mana.
Kebetulan tatkala itu, di atas karpet yang sedang kami duduki terdapat buku antalogi sisa bacaan saya yang belum sempat dibereskan. Obrolan kami, awalnya tidak memperhatikan keadaan. Bersikap permisif terhadap kekacauan kamar. Gelak tawa dan canda keakraban telah membawa kami ke dalam dunia bawah sadar, persis alam kebebasan yang sering digadang-gadang oleh Sigmund Freud. Terlebih-lebih, kamar kos sebelah berstatus kosong. Sehingga kamipun dapat bersua dengan semena-mena. Mengadu otot dengan bisingnya suara kendaraan yang melintas di jalan raya. Maklum saja letak kos saya hanya beberapa meter dari jalan.
Etah sengaja atau tidak, spontanitas topik perbincanganpun akhirnya teralihkan ke arah buku antalogi yang beberapa kali saya buka dan belum sempat saya khatamkan. Dengan raut wajah sumringah yang dihiasi oleh kedua bibirnya yang tersungging, teman akrab saya berceloteh, “Baca buku apa Ron?”. Kebetulan tatkala itu buku yang sedang berusaha saya khatamkan adalah buku antalogi kedua karya anak-anak Bidikmisi IAIN Tulungagung, ‘Merajut Harapan dalam Keterbatasan’. Termasuk di dalamnya, memuat tulisan semrawut saya. Sontak saya pun menimpali pertanyaan teman akrab tersebut dengan menyebutkan, “Buku motivasi hidup”. Dengan cemooh tawa yang menggelikan, “Hidupmu penuh keburaman ya Ron?, sampai-sampai butuh motivasi segala” ia kembali bersua. Namun, hanya senyuman empuk dengan gelagak pilon sebagai pemungkas perbincangan yang saya sodorkan.
Keesokan harinya, salah seorang teman akrab yang berbeda berkunjung pula ke kos saya. Kebetulan tatkala itu saya sedang berkencan dengan buku yang sama. Masih menyantap pintalan kata natural yang dibumbuhi dengan mahfudot dan pekikan kata-kata mutiara. Kali ini berbeda, giliran saya yang beraksi. Dengan seketika saya menunjukkan buku yang sedang saya pegang ke arah teman akrab saya berada. Bukannya hendak pamer ataupun sombong, melainkan saya tahu betul siapa teman akrab yang berkunjung kali ini. Dimana ia merupakan anak asuh negara, sama seperti saya (teman bidikmisi). Sontak iapun berceloteh latah dengan penuh keacuhannya, “Buku tidak penting!”. “Meskipun tidak penting, setidaknya mereka punya ide dan semangat yang diabadikan”, tungkas saya.  Teman sayapun berceloteh kembali, “Lah gue, idenya menuap! lebih keren bukan?”. Secara bersamaan, kamipun mengumbar aurat gelak tawa yang sempat membuncah. hahaha.
Menyikapi dua sikap teman akrab tersebut, rasanya saya ingin menjawabnya dengan pekikan kata-kata skak mat yang ideal. Ah, namun apa daya, namanya juga teman. Saya hanya mampu ber-azam dalam hati, bahwa suatu saat nanti ingin menuliskan hikmah tentang membaca buku antalogi. Saya pikir inilah saat yang tepat untuk menuangkannya. Hemat saya, ada beberapa makna yang tersirat dalam membaca buku antalogi.   
Pertama dan yang paling utama. Dengan membaca buku antalogi sampai khatam, berarti anda sejatinya sedang intropeksi. Mampu mengoreksi tingkat kemampuan menulis dan cara menuangkan ide. Banyaknya versi tulisan yang sodorkan dalam satu buku, membuat kita dapat membandingkan tulisan pribadi dengan hasil karya orang lain. Setidaknya, akan ada feel dan sensasi yang berbeda. Antara tulisan yang renyah dibaca dan sedikit ngilu di bibir serta ngelu di kepala.
Kedua, dapat meningkatkan tata kelola bahasa dan permainan kata. Layaknya Ludwig wittgenstein (filsuf bahasa) yang mengkategorikan bahasa menjadi Ordinary Language Philosophy dan Philosophy Investigations yang bertumpu pada permainan kata. Serangkai kalimat akan menjadi bahasa yang sedap disantap dengan tatanan kata yang mudah dicerna. Begitu pula sebaliknya, tingkat penyusunan kata yang ‘satru’dan dipenuhi dengan permainan logika, akan membutuhkan seduhan segelas kopi hitam untuk menyeruput setiap jengkal bahasa yang disodorkan (baca, sedikit berpikir). Mungkin sepeti tulisan acakadut saya ini.  
Ketiga, belajar lebih teliti dan memperkaya pembendaharaan bahasa. Penggunaan bahasa natural ‘apa adanya’ dalam buku antalogi akan memperkaya satuan interkoneksi bahasa yang kita miliki. Setidaknya secara pribadi kita dapat membedakan mana kalimat yang menggunakan EYD dengan benar dan mana yang tidak. Satuan kata mana yang telah familiar digunakan dan yang masih asing di telinga.
Sementara yang terakhir, dengan membaca buku antalogi, berarti berusaha menambah motivasi hidup. menguprage tingkat kematangan dalam memaknai kehidupan.  Mendapat bingkisan pesan moral untuk lebih menghargai pengalaman hidup orang lain. Termasuk memanfaatkan waktu hidupnya sebaik mungkin untuk sedikit mengobati dahaga keilmuan orang banyak.

Itu menurut saya. Bagaimana dengan anda?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Serba yang Kedua

(Dokpri: flyer ngaji literasi edisi 4) Hemat saya angka 2 menjadi angka istimewa dalam ngaji literasi edisi keempat yang akan datang ini. Tepatnya, 3 kali angka 2 yang istimewa. Kenapa harus angka 2? Bukankah masih banyak angka lain: 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya? Nah, jadi bikin penasaran kan? Pertama, angka 2 yang menegaskan bahwa di momen ngaji literasi edisi ini adalah kali kedua saya menjadi moderator setelah sebelumnya saya beserta Bang Almahry Reprepans bertukar posisi. Tentu saja, dua kali menjadi moderator dalam rangka membedah buku solo kawan-kawan anggota SPK Tulungagung, bagi saya, adalah satu kehormatan dan kesempatan yang luar biasa. Saya dapat belajar bagaimana cara berbicara di depan kamera dan public speaking. Selain itu, pada ngaji literasi edisi keempat ini menandaskan dua kali sudah saya menjadi moderator dalam membedah buku solo perdana sahabat Ekka Zahra Puspita Dewi setelah sebelumnya dipertemukan dalam acara bedah yang diusung oleh komunitas Lentera. ...