Langsung ke konten utama

Puisi 3

KAMU
Kamu,
Pemilik rindu di dalam qalbu
Pemikat rasa, yang kian syahdu
Merindu,
Kian bertasbih, menakar bisik di dadaku

Sendu
Peracik rasa, berparas tamu
Menebar pesona menjadi candu
Perangkul kasih nan khusyu’

Kamu,
Pemilik bahagia, harapanku
Pengukir senyum dalam hariku
Telaga hasrat mimpi indahku
Pelangi munajat, dalam untai do’aku

Duhai, pemilik desis setiap nafasku
Ya Rahman,
Rangkullah ia dalam samudra kasih-Mu
Ya Rahiim,
Dekaplah ia dalam lautan sayang-Mu
Ya Malik,
Jagalah ia dalam semesta kuasa-Mu

Ya maalikul mulkil waduud,
Pertemukanlah kami dalam ridho-Mu
Dalam mihrab suci, takdir janji-Mu





AKU
Bila waktunya telah tiba
Paras rahasia pun, kan menyibak tirai-jendela
Memberi tanda isyarat tanya
Menjawab gumam, untai kata sang pujangga

Bila waktu pun telah tiba
Sang pujangga, akan malu dalam tawa
Tersungkur-sesal dalam cahaya rembulan tiada dua
Menutup mata, menyumpal sepercik cahaya bintang dalam gulita

Aku,
Sang pemeluk rindu
Terjerat rasa, yang kian satru-tak menentu
Menjadi candu
Terbuai hasrat, harapan semu
Menelan pil pahit dalam cumbu
Senyum-indah, misterius milikmu

Terkapar, pasrah.
Dalam untai do’a munajatmu
Berharap hadir
Dalam hampar sajadah cintamu

Bila waktu pun telah tiba
Jamuan sapa-hangatku akan sirna
Terkubur jauh, dalam memori kusutmu dikepala
Terganti, rentetan senyum-bahagia dikau dikala senja
Menikmati sisa umurmu yang tiada dua

Pun inilah aku, yang terus menjerik dalam do’a
Memangkas sayang, yang kian meronta
Menganga dan menerka-nerka
Mengharap jumpa dalam hidup yang kedua
Pun inilah aku yang kian luput dalam derita
Semakin payah dalam membaca,
Tipu daya dunia yang tertawa buta

Melek bermata dua, namun tak pandai memandang realita
Terjaga, mengaku bertelinga
Namun tak piawai mendengar bisik sadar-dunia

Aku,
Sang perangkai kata yang tak lihai berbicara
Yang tak mampu berterus-terang, menopang topeng lamunan rasa
Memilih jujur namun mengena
Terdiam, dikala jumpa
Penikmat senyum-bahagiamu, dipojok dunia


DAN AKU
 Sang pemalu, yang bersembunyi dalam noktah untaian kata
Bersemayam dalam titik debu gelap gulita
Sedikit senyum, dalam rona cahaya
Nan mudah sirna, seketika

Dan ini pun aku
Yang tersipuh malu, dalam anggun parasmu
Diam, termangu
menyumpal pesona dalam relung alur cerita, lamunanku


Imajinerku
Ku rengguk nikmat dalam senyum rembulan, keanggunanmu
Ku dekap hangat, dalam selimut-malam keheninganmu
Ekstase,
Gugup,
Menelisik jari-jemari mimpi mungil, genggam tanganmu
Memeluk cahaya bintang, dalam kerlingan sorot matamu
Mengelus rasa, bisik dalam qalbuku

Pun inilah aku,
Yang luput dalam noktah keringat, bayanganmu
Tertatih dalam terik, gelora mentarimu
Tertarik magnet, poros sucimu

Pun itulah kamu,
Perajut bayang-indah dalam memori imajinerku


  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Serba yang Kedua

(Dokpri: flyer ngaji literasi edisi 4) Hemat saya angka 2 menjadi angka istimewa dalam ngaji literasi edisi keempat yang akan datang ini. Tepatnya, 3 kali angka 2 yang istimewa. Kenapa harus angka 2? Bukankah masih banyak angka lain: 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya? Nah, jadi bikin penasaran kan? Pertama, angka 2 yang menegaskan bahwa di momen ngaji literasi edisi ini adalah kali kedua saya menjadi moderator setelah sebelumnya saya beserta Bang Almahry Reprepans bertukar posisi. Tentu saja, dua kali menjadi moderator dalam rangka membedah buku solo kawan-kawan anggota SPK Tulungagung, bagi saya, adalah satu kehormatan dan kesempatan yang luar biasa. Saya dapat belajar bagaimana cara berbicara di depan kamera dan public speaking. Selain itu, pada ngaji literasi edisi keempat ini menandaskan dua kali sudah saya menjadi moderator dalam membedah buku solo perdana sahabat Ekka Zahra Puspita Dewi setelah sebelumnya dipertemukan dalam acara bedah yang diusung oleh komunitas Lentera. ...