Langsung ke konten utama

Ekspedisi Malam


Aktivitas malam minggu yang belum terbayangkan, terngiang-ngiang dan terdeskripsikan kini telah menjadi torehan kenangan dalam memorian. Mengukir sejarah dalam literasi perjalanan hidup yang menakjubkan. Menambah pengalaman hidup yang perlu didokumentasikan. Tanpa basa-basi, bertele-tele dan mulek dalam alur tulisan, saya pun dengan spontan ingin terang-terang mengatakan bahwa aktivitas yang dimaksud yakni pendakian. Ya... benar suatu pendakian gunung telah saya lakukan.
Gunung yang menjadi tujuan pendakian pun, selayaknya telah menjadi suatu objek wisata pendakian yang lumrah dalam isu, pencitraan pembicaraan dan pendengaran. Sehingga telah menjadi kemungkinan besar pengetahuan bahwa gunung yang dimaksud yakni gunung budeg.

Prepare Menuju Tempat Tujuan
            Tanpa melirik, risau dan resah akan kondisi malam yang menyelimuti keadaan. Setiap diri insan yang ingin (berniat dan berminat) ikut berpartisipasi dalam pendakian pun harus menyiapkan semua perlengkapan. Entah itu perlengkapan yang besifat privasi atau kolektif sekali pun. Namun yang menjadi titik tekan, fokus perhatian utama di antara rentetan serangkaian perlengkapan, yakni kondisi vit fisik dan mental yang diperlukan.
  Tanpa menimbulkan kerisruhan, kegaduhan dan kebisingan, kami (saya dan teman yang berpartisipasi dalam pendakian) pun dengan tertib mulai menata diri berangkat menuju tempat yang dimaksud. Relung jalan yang ketara apik dan tenang menghidrolik asyiknya perjalanan, sehingga dengan leluasa kami pun memacu kecepatan. Berburu waktu sunyi sebelum lenyap oleh kondisi pagi yang menyejukkan.
  Kondisi malam yang khas, tatkala itu menjadi kawan setia dalam perjalanan. Rasa dingin yang menyertai kegelepan, dengan senonoh berani menjamah diri yang terselimuti oleh hangatnya sehelai pakaian. Dengan serentak rasa dingin pun menyelimuti sekujur tubuh yang ajeg linier dengan laju kendaraan. Namun keadaan yang demikian lantas tidaklah menjadi penghalang (mengurunkan niat kami) untuk meneruskan perjalanan. Melainkan menjadi penyulut rasa semangat dan menumbuhkan rasa penasaran yang meluap-luap untuk memacu adernalin.

Inter Mission 
            Setelah beberapa saat bergulat dengan dinginnya angin malam. Akhirnya, kami pun sampai ditempat tujuan. Dengan serentak teman yang mengendarai motor pun menata kendaraanya ditempat parkir yang telah disediakan. Tanpa menghiraukan dan menggubris ego individualis, kami pun dengan sabar menunggu, saling membagi perhatian guna merekatkan tali kekeluargaan menuju visi yang bersamaan.
            Secara beriringan, susunan anak tangga pun kami lewati dengan beraturan. Yang tidak lama kemudian menuntun kami langsung menuju pos penjagaan guna melaporkan banyaknya jumlah orang yang berpartisipasi dalam pendakian. Sejumlah Rp. 5.000/orang pun menjadi harga tiket yang harus kami bayar. Kemungkinan besar diberlakukannya tiket ini beriringan dengan dikukuhkannya gunung budeg sebagai tempat wisata yang berlaku untuk umum.
          Tanpa mengulur-ulur waktu, kami pun berusaha menyegerakan pendakian yang dimulai dengan memanjatkan do’a bersama dengan khidmat. Beberapa saran, nasehat pun sempat tumpah mewarnai awal perjalanan. Tatkala sampai kurang lebih seperempat perjalanan, rasa lelah yang disertai tetesan keringat pun mulai terasa menyelimuti sekujur tubuh. Perbekalan air pun tatkala itu sangat membatu kelancaraan dalam pendakian. Teguk demi teguk air pun sempat menjadi penawar dari kelelahan. Menjadi stimulus untuk terus menuju puncak gunung yang menjadi tujuan utama pendakian. 
           Selama dalam perjalanan pendakian, kami pun banyak berjumpa dengan para pendaki lain. Para pendaki tersebut pun berlatarkan usia yang bermacam-macam. Ada yang tergolong usia tua, dewasa, remaja dan bahkan anak-anak. Namun yang ketara mendominasi tentu kaum dewasa dan remaja yang memiliki tenaga dan semangat yang dapat diandalkan.
            Terjalnya jalan, curamnya jurang, abstraksinya tebing dan gelapnya malam bercampur padu intergal menjadi halau rintangan yang perlu ditaklukan. Jarak pandang mata pun tatkala itu hanya sebatas melihat kerlipan cahaya lampu yang ada dipuncak, (*bila mata melihat, menengadah ke puncak gunung). Begitu juga sebaliknya, tatkala mata melihat jauh ke bawah. Yang terlihat hanya kerlipan cahaya lampu yang berasal dari sekian bangunan dan perumahan.
         Tatkala itu pun diri saya pribadi merasa benar-benar menjadi makhluk yang sangat kecil diantara makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Pendakian tersebut pun seakan-akan menganalogikan isyarat akan makna perjalan hidup yang perlu direnungkan. Entah itu berkaitan dengan makna kehidupan yang telah terjalani, sedang dijalani dan akan terjalani. Dengan sadar tatkala itu pun saya menyadari, bahwa saya sedang melakukan pendakian, bukan sedang berada diruang kelas tempat kontemplasi, perenungan. Namun, tidak ada salahnya juga bila dalam sepanjang pendakian saya teus merenungi apa yang nampak nyata dalam sensibilitas indra.
           
Impression di Puncak Gunung
            Singkat cerita, beberapa saat kemudian kami sampai dipuncak gunung yang menjadi tujuan. Beberapa tenda telah tegak terpasang. Beberapa tikar telah sigap terhampar. Gelak tawa dan perbincangan pun kian keras nampak mewarnai keadaan. Dengan sadar saya pun menyadari, bahwa saya telah menghampiri domein small group para pendaki yang datangnya lebih awal.
            Secara reflek kami pun berusaha mencari tempat yang memang benar-benar kosong. Tanpa satu pun tenda yang tegak dan tikar yang digelar, beberapa diantara kami pun berusaha merebahkan tubuh yang lelah (berisitirahat guna menyetabilkan keadaan tubuh). Waktu peristirahatan pun berlangsung sampai menjelang subuh. Kumandang adzan subuh yang memecah kesunyian pun menjadi tanda, bahwa waktu peristirahatan telah berakhir. Karena tempat berjama’ah shalat yang tidak memungkinkan. Maka akhirnya, kami pun silih bergantian untuk menunaikan kewajiban, (shalat subuh).
Sembari menunggu momen yang tepat untuk menikmati sun rise yang akan datang. Akhirnya kami pun memutuskan untuk santai berbincang, menikmati sejuknya udara pagi yang menyegarkan, dan mendokumentasikan gelak laga momentum yang tidak akan terulang. Jepret sana, jepret sini pun menjadi aksi yang membabi buta menghiasi rona keadaan. Dengan penuh kepedean fose-fose andalan pun dikelurkan. Tanpa resah dan peduli dengan ocehan orang yang melihat aksi yang demikian.
Tidak lama kemudian, sang mentari pun mulai nampak terbit dihadapan. Rona langit yang tidak berawan pun menjadi merah kekuning-kuningan. Dengan serentak para fotografer amatir pun berlagak bak figur yang telah handal dalam bidang pemotretan. Tatkala itu, momen sun rise pun dengan serentak menjadi sorotan, menggantikan semua objek pemotretan. Hal yang demikian ketara jelas tatkala semua wisatawan rela menanti untuk sekadar menikmati secara langsung dan mengabadikan momen sun rise tersebut dengan aksi pemotretan.

Perjalanan Pulang
Namun sayang keadaan back to nature pun harus segera diakhiri. Mengingat kesibukkan yang lain telah mengantri siap menghadang. Maka sebelum waktu yang semakin siang dan posisi mentari yang semakin tinggi menjulang kian terik menghujam, kami pun harus segera berpamitan. Meninggalkan puncak gunung yang elok, rupawan dan mengasyikan.
Secara serentak diri ini pun harus kembali menyusuri relung jalan yang terjal, menghadapi jurang yang curam dan melewati dinding tebing yang nampak jelas tidak beraturan. Keadaan siang pun nampak jelas kian membatu dalam mendeskripsikan jalan yang pada malam telah menjadi lintasan. Tanah yang gersang, kering kerontang pun kian nampak bertebaran tatkala kaki menjamahnya dengan pijakan. Pohon-pohon yang nampak hitam tatkala malam, disiang hari pun nampak jelas daunnya berguguran. Ya... mungkin dapat dimaklumlah, sekarang ini kan musim kemarau. Betul gak..?
Beberapa saat kemudian, saya pun sampai ditempat awal persinggahan, (yang lebih tepatnya lagi pos penjagaan). Di sana pun saya mendapati beberapa teman saya yang telah tiba di sana lebih awal. Dengan serentak saya pun mulai membasuh kedua bagian kaki dan membasuh muka yang terselimuti tetesan keringat. Tidak lama kemudian, kami pun memutuskan untuk turun menuruni anak tangga yang beraturan menuju tempat parkirnya kendaraan. Namun sebelum benar-benar sampai ke sana, niat pun seakan-akan terurungkan tatkala mata melirik bakul penthol yang menggiurkan. Dengan penuh kesabaran kami pun antri menanti bagian untuk membeli penthol guna mengganjal perut yang mulai keroncongan. Setelah puas mengganjal perut, kami pun secara seksama memutuskan untuk mengakhiri ekspedisi perjalanan kali ini dengan perpulang secara bersamaan.         

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Serba yang Kedua

(Dokpri: flyer ngaji literasi edisi 4) Hemat saya angka 2 menjadi angka istimewa dalam ngaji literasi edisi keempat yang akan datang ini. Tepatnya, 3 kali angka 2 yang istimewa. Kenapa harus angka 2? Bukankah masih banyak angka lain: 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya? Nah, jadi bikin penasaran kan? Pertama, angka 2 yang menegaskan bahwa di momen ngaji literasi edisi ini adalah kali kedua saya menjadi moderator setelah sebelumnya saya beserta Bang Almahry Reprepans bertukar posisi. Tentu saja, dua kali menjadi moderator dalam rangka membedah buku solo kawan-kawan anggota SPK Tulungagung, bagi saya, adalah satu kehormatan dan kesempatan yang luar biasa. Saya dapat belajar bagaimana cara berbicara di depan kamera dan public speaking. Selain itu, pada ngaji literasi edisi keempat ini menandaskan dua kali sudah saya menjadi moderator dalam membedah buku solo perdana sahabat Ekka Zahra Puspita Dewi setelah sebelumnya dipertemukan dalam acara bedah yang diusung oleh komunitas Lentera. ...