Keterangan: Gambar unduh dari Facebook
'Kalah Kudukung, Menang Kusanjung'. Ya, kata itu yang saya kira perlu dikuatkan--dipahami dan ditanamkan--dalam benak masing-masing supporter sepakbola tanah air tatkala menyaksikan kekalahan timnas Indonesia U-23 dari Ubzekistan di laga semifinal AFC. Skor akhir 0-2 adalah pil pahit yang harus sama-sama kita telan. Mau tidak mau. Suka tidak suka.
Mirisnya, pil pahit itu harus kita telan sebelum tidur. Ada harapan sekaligus kekhawatiran yang mendekap diri dalam renung sebelum memejamkan mata, "semoga pil itu tidak berdampak pada mimpi yang buruk! Berimbas pada deretan mimpi di masa depan. Mimpi-mimpi idaman yang melesat jauh menorehkan sejarah dan kebanggaan yang tak berkesudahan".
Sebelumnya, mimpi dan cita itu terasa dekat dan kian nyata. Bahkan sebenarnya sudah dipupuk dengan subur tatkala timnas berhasil menumbangkan raksasa besar langganan calon pemenang yang dijagokan. Dalam fase penyisihan grup A, kita tahu timnas Australia dan Jordania berhasil ditekuk. Ditambah lagi dengan tumbangnya timnas Korea Selatan di perempat final setelah selisih 1 gol melalui adu pinalti.
Meski kemudian di laga perdana fase grup, asa itu mulanya harus luruh tatkala berhadapan dengan timnas tuan rumah yang tidak ramah. Timnas U-23 Qatar benar-benar berjumlahkan 12 orang pemain. Wasit Nasrullo Kabirov pemain ke-12 itu berhasil menyumbangkan 2 gol kunci. Sedangkan Ramadan Sananta harus berlapang hati diganjar kartu merah. Tentu saja yang demikian itu sangat merugikan timnas Indonesia. Rugi secara mental dan materi.
Sudah menjadi rahasia umum, jika setelah pertandingan yang penuh kontroversi itu banyak protes yang dilayangkan. Baik kepada pihak penyelenggara, wasit Nasrullo sebagai pemimpin laga sampai dengan petugas var yang berasal dari negeri gajah, Thailand. Bahkan para netizen dengan suka cita menyerbu akun Instagram pibadi wasit Nasrullo dengan komentar secara brutal.
Hal yang sama juga terjadi tatkala menyaksikan pertandingan semalam. Wasit asal negeri Ginseng, Shen Yin Hao, melalui akun Instagram pibadinya, menjadi bahan bulan-bulanan netizen setelah menganulir gol yang dicetak Rizky Ridho. Ironisnya, penganuliran gol itu menjadi titik balik kalahnya timnas Indonesia.
Bagi sebagian supporter yang menyandang predikat gila, kekalahan timnas Indonesia U-23 semalam tidaklah wajar. Ada keterlibatan wasit dan petugas var yang tidak sehat. Walhasil, sikap kritis dan tajassus perlu digulirkan. Meski pada akhirnya upaya itu tidak mengubah skor final dari laga yang sudah terjadi. Kendati begitu, setidaknya upaya itu menyadarkan diri yang bersangkutan.
Untungnya, para supporter yang tidak puas tidak sampai mengutuk para pemain timnas Indonesia. Seperti kegagalan laga timnas di tahun-tahun sebelumnya. Meski kemudian khalayak mafhum betul bahwa yang nyaring dan getol mengkritik permainan timnas ya hanya Bung Towel. Bung Towel terus mengambil posisi yang berseberangan (oposisi; kritikus sejati) terhadap tim racikan Shin Tae Yong. Seolah-olah Bung Towel lebih baik dalam segala hal. Tak terkecuali dalam hal omon-omon. Eh, keceplosan.
Bahkan, saat menyaksikan timnas Indonesia U-23 kalah semalam, jangan-jangan diri Bung Towel sangat kegirangan. Apa yang menjadi kritikan dan keresahannya selama ini terbukti adanya. Aneh memang, orang seperti Bung Towel melulu dikasih panggung untuk berceloteh. Di saat supporter sepakbola Indonesia saling bekerjasama, membangun sportivitas dan kebanggaan, ia malah mencemooh secara membabi buta.
Harus diakui saksama, pandangan, sikap dan tindakan supporter sepakbola tanah air itu sangat berpengaruh pada mental pemain sekaligus proses tumbuh kembangnya timnas Indonesia. Persis seperti halnya yang disampaikan pelatih Shin Tae Yong selepas laga timnas kontra Jordania. "Kemenangan timnas U-23 sangat dipengaruhi oleh semangat para supporter Indonesia yang luar biasa", tukasnya.
Dalam konteks inilah sikap menerima atas hasil laga menjadi penting. Sebab sikap penerimaan mencerminkan level kedewasaan supporter tanah air yang haus akan efouria kemenangan. Baik itu kemenangan timnas di babak penyisihan grup sampai dengan quarter final. Sikap penerimaan itu mungkin menjadi mudah bagi para supporter manakala disertai dengan ilmu pengetahuan tentang membangun dunia sepakbola yang sehat dan berdaya. Yang demikian itu dapat kita adopsi dan tilik dari sejarah tim sepakbola luar negeri.
Ada benarnya kata Bambang Pamungkas, " untuk membentuk timnas yang baik diperlukan regulasi yang baik. Pelatihan yang konsistensi dan para pemain yang mau berjuang tanpa henti. Semuanya itu butuh proses panjang".
Tulungagung, 30 April 2024
Catatan harian mantap! Dari sekadar nonton pun, jadi tulisan luar biasa! Makasih Kang!
BalasHapusSiap Bu. Merefleksikan itu lebih mudah dan sederhana. Hehehe. Hatur nuhun tos mampir.
Hapus