Langsung ke konten utama

Trip to Bondowoso

Masih terlintas jelas dalam ingat saya, seperti apa formasi duduk awal pemberangkatan peserta Kopdar Tulungagung di dalam mobil elf. Pada bagian depan, Mas Fahrudin duduk bersanding dengan Mas Lucky selaku sopir. Mereka berdua hanya tersekat satu kursi kosong. Deret kursi yang kedua, sisi kursi sebelah kanan ditempati oleh Prof. Naim. Kursi tengah diduduki Mas Habib dan kursi sisi kiri masih kosong. Nantinya kursi ini menjadi tempat bersandar ternyaman untuk Mas Imam Setiawan. 

Selanjutnya, Bu Eni mengisi kursi sisi bagian kanan. Kursi sebelah kiri masih kosong. Nantinya Bu Eti Rohmawati menduduki kursi sisi sebelah kiri. Sedangkan Bu Siti Rodiah menjadi pemisah di antara keduanya. Beliau duduk di kursi bagian tengah. Saya sendiri mendapatkan bagian kursi di pojok kanan. Persis di samping jendala. Posisi strategis untuk menikmati pesona pemandangan yang tersuguh sepanjang perjalanan. Om Thoriq memilih duduk di kursi bagian tengah. Mungkin ia lebih suka menjadi sosok yang moderat. Salah satu sikap yang berusaha ia tanamkan di dalam diri setelah berhasil menjadi presenter dalam International Conference on Religious Moderation (ICROM) 2022. Indikasi itu diperkuat dengan kaos dalam yang dikenakan Om Thoriq yang pada bagian belakang terdapat tulisan ICROM. 

Sementara Alfin dengan sikap yang sangat tawadhu dan njawani-nya mendapatkan bagian kursi pada bagian sisi kiri. Alfin sendiri baru pertama kali ini bertemu dengan saya. Oleh karena itu pula mungkin yang menjadi alasan kenapa di sepanjang perjalanan ia menggelontorkan banyak pertanyaan. Tak segan-segan ia mencecar saya dan Om Thoriq. Di awal-awal perjalanan, sangat tampak pertanyaan introgatifnya melucuti pengalaman dan wawasan masing-masing kami berdua (saya dan Om Thoriq). Hal itu ia lakukan dengan diselingi penuturan pengalaman dan wawasan pengetahuannya. 

Saya paham betul maksud yang dikehendaki oleh Alfin. Selain bermaksud membangun komunikasi dan menghidupkan suasana di sepanjang perjalanan, secara tidak langsung ia berusaha mengenal lebih jauh Om Thoriq dan Saya, serta membangun relasi kedekatan di antara kami berdua. Jika analogikan dalam sebuah konferensi, Alfin memegang tampuk sebagai presenter. Secara porposional, ia lebih banyak mengambil peran sebagai pembicara dan penanya dibandingkan dengan saya dan Om Thoriq. Kendati demikian kami bertiga larut dalam obrolan hangat dan intim. 

Sesekali saya menengok ke bagian depan untuk menebus rasa penasaran diri, apakah hal yang sama juga dilakukan oleh peserta yang duduk di deretan kursi lain? Dari pantulan kaca dan celah kursi saya melihat komunikasi yang intens juga terjadi di antara semua peserta Kopdar. Hal itu terus berlangsung sampai dengan mobil berhenti tepat di depan pasar Rejotangan. Di sana kami menjemput Bu Eti Rohmawati. Beliau duduk persis di samping Bu Siti Rodiah. Sementara Mas Imam ternyata menunggu di depan Koramil Rejotangan. Itu berarti posisi Mas Imam telah terpaut jauh terlewati. Kurang lebih 80 meter jarak tempuh Mas Imam harus menyusul posisi kami. Kala itu Mas Imam diantar oleh sang Ibu dengan menunggangi motor maticnya. Lantas Mas Imam duduk di samping Mas Habib. 

Bagi kami yang duduk di deretan kursi bagian belakang, kehadiran Bu Eti Rohmawati bak air hujan di musim kemarau. Tanpa ba-bi-bu Bu Eti dengan ringan tangan membagikan jajanan yang beliau bawa. Sewadah Cimplung box mika ukuran 23,5 x 15 cm beliau sodorkan ke segala penjuru, termasuk ke arah kami. "Wah... Ini camilan yang saya suka sewaktu SMA", cetuk Om Thoriq. Obrolan gayeng kami terjeda dengan menikmati Cimplung.

Cimplung sendiri adalah makanan khas Banyumas yang kemudian marak dijual di daerah Jawa Tengah dan Timur, termasuk Tulungagung dan sekitarnya. Singkong yang direbus menggunakan air gula merah hingga empuk menjadi bahan dasar utama dari camilan yang populer disebut Cimplung. Sehingga tekstur Cimplung sendiri tampak empuk dan rasanya manis. Umumnya Cimplung dijajakan di pasaran. Akan tetapi fenomena yang terjadi sekarang Cimplung juga turut dijajakan via media sosial. 

Tak terasa perjalanan kami sudah sampai di kabupaten Malang, tepatnya telah melewati Kepanjen dan Pakisaji. Tak berselang lama kami makan siang di warung Lumayan 3 yang terletak di jalan Jalibar. Di sana kami makan siang secara perasamanan. Masing-masing kami mengantri. Mengambil lauk, sayur dan nasi serta memesan minuman sesuka hati. Kala itu saya memilih oseng jamur tiram, oseng kacang panjang dan oseng daun pepaya sebagai teman nasi. Sudah lama saya tidak makan sayur-sayuran. Sementara jus alpukat menjadi pilihan penutup pelepas dahaga saya. Ohya, kali itu adalah ketigakalinya saya makan di warung Lumayan 3 di jalan Jalibar Malang.

Makan selesai. Masing-masing kami menuju musala warung Lumayan 3. Letaknya sebelah utara warung. Kami menjamak-qahsar salat dengan berjamaah. Keloter pertama diimami Prof. Naim dengan makmum Bu Eni, Bu Eti dan Bu Siti Rodiah. Sebelum memulai salat, Prof. Naim mengingat kami bahwa air telah habis. Alangkah baiknya kami bertayamum. Penegasan itu tampak serius meski tawa kecil sempat tersuguh di akhir hingga kami menangkapnya sebagai dagelan. Jika tidak salah, Bu Eti juga sempat menambahkan, kalau airnya mengalir kecil. Seukuran ekor tikus mungkin ada. Sontak saja saya bergegas membuka keran air, dan benar saja ketersediaan air sudah di ujung tanduk. 

Saya, Alfin, Mas Imam Setiawan dan Om Thoriq bergegas mengambil wudhu di kamar mandi yang berbeda secara bersamaan. Pada kenyataannya jika beberapa kran air dibuka secara bersamaan, air yang mengalir saling berebutan. Sampai aliran air benar-benar hampir sekarat. Seukuran batang lidi mungkin ada. Kian lama keran dibuka, air kian menuju tetes terakhir. 

Kami berempat sepakat salat berjamaah. Konyolnya mesti sebelum memulai salat di antara kami harus saling menuding siapa yang akan menjadi imam. Proses saling menuding itu sempat terdengar jelas oleh Prof. Naim, sehingga beliau memberi saran lebih baik untuk dibubarkan saja. Sontak saja kami berempat langsung cengengesan mendengarnya. Pada akhirnya, keloter salat berjamaah kedua itu diimami oleh Om Thoriq. 

Mas Lucky tampak menunaikan salat secara munfarid. Mungkin karena ia tahu stok air sudah tinggal setetes. Sementara Mas Fahrudin dan Mas Habib kebingungan tatkala hendak mengambil wudhu, sebab airnya sudah tidak mengalir. Dengan sigap, Mas Lucky menawarkan diri untuk menginformasikan langsung pada pihak yang berwenang di warung Lumayan. Supaya stok air kembali diupgrade. Tak lama dari itu, Mas Fahrudin dan Mas Habib berhasil mengambil wudhu. Kala itu saya lihat, Mas Habib berperan sebagai imam. Itu adalah salat jamaah keloter terakhir. 

Sebagian besar peserta telah menunggu di mobil. Sedangkan kami yang selesai salat baru sampai di sana. Perjalanan menuju Bondowoso dilanjutkan. Tak lama dari itu kini giliran Bu Eni yang berderma membagikan camilan. Om Thoriq menerima satu plastik kripik pisang. Kami tidak langsung membukanya karena perut yang masih tidak ada ruang. Sesaat kemudian kejenuhan mulai menjangkiti. Suasana di dalam mobil menjadi hening. Sebagian besar peserta dipeluk kantuk. Saya melihat Om Thoriq merogoh tasnya, dan mengeluarkan satu buah buku berjudul Sufi Indonesia. Sepintas saya sempat bertanya tentang buku itu. Ia menandaskan bahwa buku itu adalah salah satu souvernir yang didapatkan dari acara ICROM. 

Sontak saya teringat dengan buku Ethiosophia yang ditaruh di saku depan tas. Seketika saya merogohnya. Saya mulai mengisi kejenuhan dengan berselancar di setiap baris tulisan yang tampak memulihkan klise ingatan materi kuliah di masa-masa perkuliahan. Maklum saja untuk memahami alur pembahasan buku Ethiosophia harus mempertemukan dua ideologi utama: benar-benar mengerti babakan rasionalisme filsafat Barat. Utamanya zaman renaissance hingga muncul tokoh Immanuel Kant. Ditambah dengan teori etika dalam Islam. Filsafat etika ala Ibnu Miskawaih sebagai tumpuan. Beberapa lembar halaman berhasil saya lahap, sebelum akhirnya kantuk benar-benar merenggut kesadaran saya. 

Perjalanan panjang ini benar-benar terasa alot. Kendati mengambil jalur tol tapi mobil tidak dipacu melewati kecepatan 80 km/jam. Ini adalah pertama kali saya trip ke Bondowoso. Perjalanan terjauh kedua saya ke wilayah timur, setelah ke Bali. Sebelumnya di penghujung tahun 2021 saya sempat ke wilayah tapal kuda lainnya: Jember dan Pasuruan, namun itu ditempuh dengan mengendarai motor. Tentu saja perjalanan jauh dengan menggunakan mobil dan motor memberikan sensasi yang berbeda. Memberikan tingkat kesenangan dan risiko yang sedikit sukar mencari titik temu di antara keduanya. 

Sekitar pukul 18.30 WIB kami berhenti di warung makan Depot Blitar di kabupaten Situbondo. Letaknya tidak jauh setelah PLTU Paiton Probolinggo. Di sana kami kembali menyantap makanan secara perasamanan. Kala itu, cumi lada hitam, oseng daun singkong dan sayur kunci bening menjadi teman nasi yang saya ambil. Sebagai penutup, jeruk hangat saya pesan. Saya duduk satu meja dengan Mas Lucky dan Alfin. Sesaat saya menatap ke arah Alfin, dan ia menampakkan ekspresi wajah yang kepedasan. Ia menegaskan kalau ia tidak suka pedas. Dan ironisnya malam itu ia salah mengambil menu. Hemat saya, fiks Alfin mabuk perjalanan. Sampai-sampai ia bisa mengambil menu yang keliru. 

Setelah makan malam selesai, kami sempat beristirahat sejenak di bangku depan warung. Di sana kami ngobrol tipis-tipis sembari menunggu peserta lain bergantian ke kamar mandi. Barulah sekitar pukul 19.30 WIB kami melanjutkan perjalanan kembali. Saya sempat membuka google maps, dari warung Depot Blitar itu kurang lebih perjalanan tinggal satu setengah jam-an lagi. Itu berarti kami akan sampai di pondok Al Ishlah Bondowoso sekitar pukul 21.00 WIB.  

Pelan-pelan tapi pasti, mobil memasuki lajur jalan wilayah Besuki. Itu terjadi setelah sang sopir mengikuti rute yang diarahkan oleh Prof. Naim. Tampaknya kala itu Prof. Naim telah berkomunikasi langsung dengan pihak panitia yang telah standby di sana. Tak berselang lama, mobil elf yang kami tumpangi sampai di depan Pondok Pesantren Al Ishlah. Gerbang Ponpes Al Ishlah Bondowoso itu tampak sangat "wah". Sehingga dari bentuk arsitekturnya secara dini saya dan Alfin menebak-nebak, kalau Ponpes Al Ishlah tergolong sebagai Ponpes modern. 

Mobil elf yang kami tumpangi sempat tertahan di pintu gerbang utama. Gerbang itu dijaga ketat oleh dua orang petugas yang mengenakan segaram Pramuka. Tampaknya mereka adalah santri Ponpes Al Ishlah. Tak butuh waktu lama untuk kami bisa memasuki kawasan utama pondok. "Tamu Ustadz Febri", adalah password gerbangnya dibuka. Kami yang mendengar password-nya seketika ketawa. Sempat pula hal itu dijadikan sebagai bahan guyonan. 

Setelah melewati gerbang utama, bangunan pertama yang tersuguh adalah masjid kembar. Letaknya persis di sebelah kiri dari mobil yang kami tumpangi. Di sebelah kanan tampak sedang ada proses pembangunan infrastruktur. Di sampingnya tampak gedung megah dengan ornamen keemasan. Tak jauh dari itu mobil kembali terhalang dengan portal kedua. Portal itu seketika dibuka. Mobil elf kami melewatinya. Pak Febri selaku panitia acara telah menunggu kedatangan mobil kami. Beliau menginstruksikan kepada sopir untuk memarkir mobil persis di depan gedung wisma broading school. 

Alhamdulillah... Akhirnya setelah menempuh perjalanan selama 10 jam, kami sampai juga di tujuan utama perhelatan Kopdar ke-9 SPK: Pondok pesantren Al Ishlah Bondowoso. Mesin mobil dimatikan. Rombongan kami satu persatu turun dan langsung disambut hangat oleh Pak Febri. Masing-masing kami bersalaman dengan beliau. 

Bersambung....

Tulungagung, 09 Agustus 2022

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ngabdi Ka Lemah Cai

Rumpaka 17 Pupuh Pupuh téh nyaéta wangun puisi lisan tradisional Sunda (atawa, mun di Jawa mah katelah ogé kungaran macapat). anu tangtuna ngagaduhan pola (jumlah engang jeung sora) dina tiap-tiap kalimahna. Nalika balarea tacan pati wanoh kana wangun puisi/sastra modérn, pupuh ilaharna sok dipaké dina ngawangun wawacan atawa dangding, anu luyu jeung watek masing-masing pupuh. Dimana sifat pupuhna osok dijadikeun salah sahiji panggon atanapi sarana pikeun ngawakilan kaayaan, kajadian anu keur dicaritakeun. Teras ku naon disebat rumpaka 17 pupuh?, alasanna di sebat rumpaka 17 pupuh nyaeta kusabab pupuh dibagi jadi sababaraha bagian anu luyu atanapi salaras sareng kaayaan (kajadian) dina kahirupan.   Yang dimaksud ialah Pupuh yaitu berupa puisi/sastra lisan tradisional sunda (atau kalau di Jawa dikenal dengan macapat) yang mempunyai aturan yang pasti (jumlah baris dan vokal/nada) kalimatnya. Ketika belum mengenal bentuk puisi/sastra modern, pupuh biasanya digunakan dalam a...

Anak Penjajak Komik

Dokpri: Qadira dengan koleksi komiknya Belakangan saya dibuat takjub melihat pemandangan tak biasa di kelas 2 SDIT Baitul Quran. Takjub bukan karena huru-hara sedang meluluhlantakkan kursi dan meja. Bukan, bukan karena mereka sedang melakukan kegaduhan, bullying dan kenakalan meronta-ronta yang tampak di depan mata melainkan fenomena yang menyegarkan hati.  Bukan hanya maknyes di hati saya kira namun fenomena yang membuat hati merasa bangga: terketuk, kagum dan penasaran sekaligus menampar pipi--bagi siapa pun yang melihat. Lha, memang apa? Baca komik. Cuma baca komik? Tentu tidak. Tidak sedangkal itu kejadiannya.  Almira dan Qadira adalah dua siswi yang membuat saya takjub itu. Mereka berbeda dari siswa-siswi lain. Jika umumnya anak menjadikan semua tempat untuk bermain, bermain di semua tempat sesuka hati, bahkan anak hanya mau membaca saat kegiatan belajar mengajar belangsung maka berbeda dengan dua siswi tersebut. Almira dan Qadira lebih suka memanfaatkan waktu luang berte...

Serba yang Kedua

(Dokpri: flyer ngaji literasi edisi 4) Hemat saya angka 2 menjadi angka istimewa dalam ngaji literasi edisi keempat yang akan datang ini. Tepatnya, 3 kali angka 2 yang istimewa. Kenapa harus angka 2? Bukankah masih banyak angka lain: 1, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, dan seterusnya? Nah, jadi bikin penasaran kan? Pertama, angka 2 yang menegaskan bahwa di momen ngaji literasi edisi ini adalah kali kedua saya menjadi moderator setelah sebelumnya saya beserta Bang Almahry Reprepans bertukar posisi. Tentu saja, dua kali menjadi moderator dalam rangka membedah buku solo kawan-kawan anggota SPK Tulungagung, bagi saya, adalah satu kehormatan dan kesempatan yang luar biasa. Saya dapat belajar bagaimana cara berbicara di depan kamera dan public speaking. Selain itu, pada ngaji literasi edisi keempat ini menandaskan dua kali sudah saya menjadi moderator dalam membedah buku solo perdana sahabat Ekka Zahra Puspita Dewi setelah sebelumnya dipertemukan dalam acara bedah yang diusung oleh komunitas Lentera. ...