Alur tulisan ini bersambung dengan unggahan sebelumnya. Sebelum membaca pastikan Anda sudah membaca episode sebelumnya:
Bagian 2: https://www.kompasiana.com/manganwar/60c771fdd541df1aa63dcfd3/syukur-di-balik-kerapuhan-rasa-dan-psikis-di-hari-raya
Bagian 3: https://www.kompasiana.com/manganwar/60c7e6168ede483d3e43bad2/syukur-di-balik-kerapuhan-rasa-dan-psikis-di-hari-raya
Stigma dan stereotip yang berpangkal tajassus
Sementara pola yang terakhir, yakni stigma dan stereotip yang berpangkal tajassus telah menjadi bumbu penyedap rasa dalam silaturrahim pasca lebaran.
Stigma dalam konteks ini bukan semata-mata bermakna tanda atau ciri negatif yang menempel pada pribadi tertentu karena pengaruh lingkungannya melainkan justru citra negatif itu ada dalam diri seseorang karena pelabelan melalui tanda atau ciri yang kian masif digencarkan secara personal yang diamini khalayak ramai. Artinya, di sana ada proses pembentukan hingga akhirnya pelabelan itu menjelma menjadi kenyataan.
Mirisnya, cara kerja stigma dalam memandang seseorang itu juga kerap disertai dengan stereotip. Konsepsi mengenai sifat suatu golongan tertentu berdasarkan prasangka yang bersifat subjektif dan tidak tepat. Bisa jadi, konsepsi mengenai sifat suatu golongan tertentu itu sengaja dimunculkan karena adanya motif dan kepentingan tertentu yang hendak dicapai.
Sebutkanlah salah satu tujuan daripada stigma dan stereotip terhadap seseorang itu adalah tajassus. Tajassus sendiri bermakna mencari-cari (mengorek-ngorek) informasi tentang celah, borok, kelemahan ataupun kekurangan yang melekat pada pribadi seseorang.
Sadar ataupun tidak, silaturrahim pasca lebaran Idulfitri pada kenyataannya juga kerapkali menyelinapkan berondong pertanyaan tajassus untuk setiap orang yang kita temui dari satu rumah ke rumah yang lain. Tanpa pandang bulu, kepada siapapun dan berapapun usianya itu seakan-akan kita punya kesempatan untuk membangun keakraban dengan melontarkan butiran pertanyaan.
Hal itu menunjukkan, bahwa secara mendasar sebenarnya tidak ada masalah jika kita mengajukan pertanyaan kepada orang lain tatkala sedang silaturrahim. Namun, masalah itu timbul tatkala kita mau meninjau sejauh mana kontekstual butir pertanyaan itu dilontarkan. Serta pertanyaan itu dilontarkan kepada subjek yang tepat atau bukan.
Artinya, isian, bobot dan target pertanyaan itu harus benar-benar diperhatikan dan dipertimbangkan secara matang. Apakah pertanyaan itu mengandung sarkastik atau tidak, mengandung stigma atau tidak, mengandung stereotip atau tidak serta kecondongan negatif lain yang dapat mengakibatkan seseorang yang ditanya merasa risih, terhina dan sakit hati karenanya. Dan yang demikian itu bisa saja terjadi tanpa disadari sebelumnya.
Bersambung...
Silakan simak kelanjutannya di akun Kompasiana Manganwar.
Komentar
Posting Komentar